"Terima kasih, Oom. Makanya sekarang giliran Oom, dong, yang ditampilin. Kapan Oom ada waktu kita ngobrol-ngobrol buat bahan tulisan?”
Ujar saya langsung “menodong”.Ternyata Bakrie tetap tidak bersedia, dengan cara merendah bahwa ia tidak layak ditulis di koran. "Masih banyak orang lain yang lebih pantas,” katanya.Gagal lagi pada saat itu, saya terus berusaha membujuknya pada setiap kesempatan. Bahkan sampai beberapa tahun selalu saya ulangi mencoba, berkali-kali juga dibantu Ical, namun hasilnya tetap nihil.Lebih dari dua belas tahun kemudian, saya merasa mendapat durian runtuh ketika pada suatu hari menjelang pertengahan Februari 1986 tiba-tiba Haji Achmad Bakrie menelepon saya, dan mengajukan pertanyaan yang malah seperti “menantang”.Katanya, "
Men, kamu masih mau ngewawancarain Oom, nggak?” Alhamdulillah! “Macan” yang sudah belasan tahun saya buru malah tiba-tiba menyerahkan diri setelah lama saya sendiri putus asa sehingga berhenti memburunya.Tentu saja peluang emas itu tidak saya sia-siakan. Maka kami pun membuat janji berwawancara di rumah beliau di Simpruk, dilanjutkan beberapa hari kemudian di ruang kerjanya yang lapang dan nyaman di Wisma Bakrie.Hasil wawancara itu kemudian dimuat dalam edisi Minggu 16 Februari 1986. Tulisan berbentuk kutipan dialog panjang-lebar yang mendapat perhatian luas dari masyarakat pembaca itu ternyata sampai akhir hayatnya merupakan satu-satunya publikasi yang pernah ada mengenai Haji Achmad Bakrie atas dasar bahan yang bersumber dari wawancara langsung dengan beliau.Dan saya bersyukur bahwa pada akhirnya beliau memberi juga kesempatan kepada saya untuk mewawancarai dan menulis tentangnya.Dalam masa awal dekade 1980-an, karena kesibukan kerja sehari-hari sebagai wartawan, saya agak jarang bertemu dengan beliau. Tetapi yang pasti, sekurang-kurangnya pada setiap Idul Fitri saya bersama istri dan anak-anak senantiasa menyempatkan diri mengunjungi rumah besar beliau di kawasan Simpruk, Kebayoran Baru.Pada Idul Fitri tahun 1986, atau mungkin 1985 saya tidak ingat persis, kebetulan saya datang kesorean sehingga rumah beliau yang selalu penuh-sesak dengan tamu setiap Hari Raya, saat itu sudah mulai sepi.[caption id="attachment_290103" align="aligncenter" width="900"] Bergambar saat lebaran di Simpruk. Keluarga besar yang selalu tampak rukun. Itu agaknya jauh lebih berharga daripada warisan harta berbilang-bilang jumlahnya (Foto Dokumentasi Keluarga)[/caption]Setelah kami ngobrol bersama suami-istri Bakrie, beliau mengajak saya pindah duduk ke ruang makan. Pada kesempatan berbicara berdua itu beliau pertama-tama menanyakan kesibukan saya sehari-hari, lalu menceritakan ihwal kesibukan kerja ketiga putranya satu persatu: Ical, Iwan, dan Indra.Dari ceritanya dan caranya bercerita, saya merasakan betul betapa beliau teramat bangga akan kesuksesan anak-anaknya.Pada kesempatan itu beliau bertanya, apakah saya menyukai pekerjaan saya. Saya jawab, saya merasa cocok sekali. Syukurlah kalau begitu, katanya. Lalu, sangat di luar dugaan saya, beliau tiba-tiba berujar, " Oom lihat persahabatan kamu dengan Ical dan adik-adik kuat sekali dan tidak luntur. Sebetulnya Oom kepingin kamu ikut membantu Ical. Tapi kalau kamu memang senang sama pekerjaanmu sekarang, nggak apalah.” Terharu saya mendengar kata-kata beliau. Maka untuk menjaga perasaan beliau, saya pun mencoba menjelaskan bahwa saya sejak pertama kali bekerja sudah menjadi wartawan, sehingga saya tidak punya keahlian lain selain di bidang kewartawanan. Saya bahkan buta dalam urusan bisnis. "Sebetulnya dengan keahlian dan pengalamanmu yang sudah belasan tahun sebagai wartawan, kamu bisa banyak membantu Ical dan adik-adik. Itu nggak soal,” ujarnya lagi.Lalu saya jelaskan pendirian saya bahwa demi persahabatan, sebaiknya saya tetap bekerja di luar Grup Bakrie saja. Saya khawatir nanti hubungan kerja bisa merusak hubungan persahabatan. Dan kalau saya terpaksa mesti memilih di antara keduanya, pasti saya memilih persahabatan.Bakrie tercenung, kemudian berujar: " Baiklah, Oom hargai pendirian kamu. Oom cuma minta supaya kamu tetap memelihara baik-baik persahabatanmu dengan Ical dan adik-adik.” Pada saat dialog itu berlangsung, tidak pernah saya bayangkan bahwa betapa pun saya punya keinginan dan pendirian seperti itu, rupanya Tuhan menghendaki lain. Sebab, entah apa yang menggerakkan hati saya, kenyataannya sejak 1 Januari 1990 saya sudah pindah kerja ke lingkungan Grup Bakrie.Ical memberi saya tanggung jawab mengelola usaha di bidang media massa sebagai Direktur PT Usaha Media Massa Nusantara, dan ikut mengembangkan Harian Pelita sebagai Pemimpin Redaksi.[caption id="attachment_290104" align="aligncenter" width="800"] Ir. H. Aburizal Bakrie dan H. Azkarmin Zaini berkolaborasi Membangun Media yang Bermanfaat untuk Bangsa (Foto Dokumentasi Pribadi)[/caption]Sayang sekali Haji Achmad Bakrie, figur idola anak-anaknya dan juga menjadi idola saya, tidak sempat mengetahuinya. Sebab, sekitar dua tahun setelah wawancaranya saya tulis di koran dan dua tahun sebelum saya bergabung di Grup Bakrie, beliau telah meninggalkan dunia yang fana, kembali kepada Penciptanya.Haji Achmad Bakrie pergi setelah merampungkan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga, setelah semua putra putrinya berkeluarga dan memberinya banyak cucu, setelah berhasil mendidik anak-anaknya menjadi kader penerus “kerajaan” Grup Bakrie yang dirintisnya betul-betul dari bawah. la pergi dengan tenang. Oleh: H. Azkarmin Zaini (Direktur News & Sports, PT. Cakrawala Andalas Televisi)Dikutip dari: Buku "Achmad Bakrie - Sebuah Potret Kerja Keras, Kejujuran, dan Keberhasilan" Syafruddin Pohan, dkk. Cetakan Kedua (e-book), 2011, PT Bakrie & Brothers Tbk, ISBN : 978-602-98628-0-5
Baca Juga :