Mungkin saya tidak akan pernah mengenal Haji Achmad Bakrie andai kata setelah tamat SMP Negeri I Cikini Raya, Jakarta, saya tidak bersekolah di SMA III/Teladan B Negeri, Jalan Setia Budi.
Andaikata bersekolah di situ pun mungkin saya juga tidak mengenal beliau apabila saya tidak berteman akrab dengan Aburizal, putra sulung keluarga Haji Achmad Bakrie.
Saya dan Ical, nama panggilan Aburizal Bakrie, sebetulnya cuma satu angkatan. Kami sama-sama masuk SMA di Setia Budi itu pada tahun 1961 dan sama-sama tamat 1964.
Sebetulnya juga, kami tidak pernah sekelas. Namun di luar kelas, kami berteman akrab. Termasuk Ical dan saya, seluruhnya enam orang kami bersahabat.
Kumpul-kumpul berenam, ikut aktivitas olah raga berenam, latihan pencak silat bersama, nonton bioskop, belajar bersama, sesekali pergi bersama ke pesta dansa, dan pernah juga main band berenam. Atau, menginap sambil belajar bersama di rumah peristirahatan keluarga Bakrie di Cibulan, Jawa Barat.
[caption id="attachment_290098" align="aligncenter" width="800"] Ir. H. Aburizal Bakrie dan H. Azkarmin Zaini Sahabat Sejati Hingga Kini (Foto Dokumen Pribadi)[/caption]
Begitu kentalnya persahabatan kami, sehingga kami pun terbawa berteman dengan sahabat-sahabat Ical semasa di SMP, bahkan di SD. Di antara lima orang sahabat Ical semasa SMA itu, tiga orang tinggal di daerah Menteng, satu di Setia Budi, dan saya di Jalan Dempo, Kebayoran Baru.
Karena rumah keluarga Bakrie waktu itu juga di Kebayoran Baru, Jalan Mataram I nomor 1, maka sayalah yang rumahnya paling dekat dengan rumah Ical. Sehingga, kalau kami akan main ke rumah teman yang di Menteng, hampir selalu saya datang bersama Ical. Kalau tidak saya yang datang ke Jalan Mataram lalu kami bersama-sama ke Menteng, tentu Ical yang menjemput saya ke rumah.
Maka, dengan sayalah hubungan Ical yang paling intensif. Hampir setiap hari kami bersama. Kalau tidak saya main ke rumah Ical, tentu Ical yang ke rumah saya. Kami sudah begitu mengenal keluarga satu sama lain.
Bagi saya, rumah keluarga Bakrie sudah serasa rumah sendiri. Makan di rumah itu, dengan seluruh keluarga Bakrie lengkap, menjadi hal yang biasa. Kalau saya datang kebetulan Ical sedang tidak ada, saya bisa ngobrol dengan Odi, putri tunggal keluarga Bakrie, sambil menemaninya belajar atau mendengarkan piringan hitam. Atau, saya main dengan dua adik Ical lainnya, Iwan dan Indra yang masih kecil ketika itu.
[caption id="attachment_290099" align="aligncenter" width="900"]
H. Achmad Bakrie - Hj. Roosniah Bakrie Bersama Anak-Anaknya (Foto Dokumen Pribadi)[/caption]
Dengan Iwan misalnya, saya sering main bulutangkis di pelataran beton atas rumah, atau berlatih pencak silat. Pada masa Iwan sedang semangat-semangatnya belajar bisnis dengan berdagang rokok, saya sering menemaninya membeli rokok pada agen besar di pasar Bendungan Hilir.
Iwan yang memodali dengan uang jajan yang ditabungnya, kami berdua yang berbelanja, dan pembantu rumah tangganya yang menunggui dagangan rokoknya di pinggir jalan depan pagar rumahnya.
Sedangkan dengan Indra biasanya mengutak-utik mainan, atau main go-cart, atau saya menerangkan soal-soal PR yang tidak bisa dipecahkannya. Atau, kalau kebetulan semua sedang tidak ada, saya menunggu di kamar Ical, iseng memainkan gitarnya atau membaca sambil berbaring di tempat tidurnya.
Dengan kadar persahabatan seperti itulah saya mulai mengenal keluarga H. Achmad Bakrie sejak tahun 1961. Hubungan paling intensif adalah selama saya di SMA, tahun 1961 hingga 1964.
Tamat SMA, Ical melanjutkan sekolah di Institut Teknologi Bandung hingga meraih gelar insinyur elektro, sedangkan saya tetap di Jakarta. Namun tidak berarti hubungan saya dengan keluarga H. Achmad Bakrie terputus. Malah sebaliknya, saya merasakan nilai-lebih dalam hubungan tersebut.
Tidak hanya sekedar hubungan dengan keluarga seorang teman akrab, melainkan sudah seperti keluarga sendiri. Odi, Iwan, dan Indra rasanya sudah seperti adik saya. Oom Bakrie dan Tante Roos, demikian saya dan kawan-kawan biasa memanggil Ny. Hj. Roosniah Bakrie, bagi saya sudah seperti orangtua sendiri.
Pada bulan September tahun 1962, ayah saya, Abbas Zaini, berpulang ke Rahmatullah. Usia saya 16 tahun, baru saja naik ke kelas II SMA. Kehilangan Ayah bagi kami sekeluarga - Ibu, saya, dan kelima adik - sungguh merupakan pukulan berat karena kami bukan keluarga berada.
Ayah saya pegawai menengah Garuda Indonesian Airways yang hanya hidup semata dari gaji, tinggal di rumah instansi, dan Ibu telanjur hanya tahu mengurus rumah tangga.
Pada masa itu di Garuda belum ada sistem pensiun. Ketiadaan Ayah membuat kehidupan kami sekeluarga menjadi berat, bahkan saya pun mulai berpikir untuk tidak melanjutkan sekolah agar bisa sedapat-dapatnya mencari nafkah untuk Ibu dan kelima adik-adik.
Sebagai sahabat, Ical mengetahui hal ini. Suatu hari pada awal tahun 1963, beberapa bulan setelah ayah saya meninggal, Ical datang ke rumah menemui saya.
"Men,” katanya memanggil nama kecil saya, Emen.
Lalu dalam bahasa Jakarta, bahasa pergaulan kami sehari-hari, ia melanjutkan, "Ikut gue ke rumah, yuk. Babe (Papa) pengen ngomong sama lu.”
Saya tanya ada apa, tapi Ical hanya mengatakan, "Nanti aja, lu bakal tahu.”
Tiba di rumah Ical, saya duduk di meja makan menghadap ke taman, Oom Bakrie di kepala meja, sementara Ical lesehan di lantai ruang tamu sambil menghidupkan piringan hitam.
Saya merasa Ical sengaja membiarkan saya berbicara empat mata dengan ayahnya. Lalu Haji Achmad Bakrie membuka pembicaraan dengan tenang.
"Oom dengar, kamu mau kerja, ya?” saya mengiyakan.
Serta-merta keluarlah nasihat dan petuah beliau, yang intinya tak pernah saya lupakan hingga kini.
"Kamu sekarang kan SMA saja belum tamat. Kalau kerja, paling-paling kamu cuma jadi tukang sapu. Tamat SMA pun kamu cuma bakalan jadi kerani. Zaman sekarang, sekolah itu penting. Tidak bisa lagi pendidikan rendah seperti zaman Oom dulu. Sekarang anak muda kalau mau punya masa depan mesti berpendidikan tinggi. Jadi, Oom kepingin kamu terusin sekolah sampai jadi sarjana,” ujarnya.
Tanpa memberi kesempatan saya menanggapi, beliau langsung melanjutkan:
“Soal kerja itu gampang kalau kamu sudah tamat sekolah tinggi. Kamu udah Oom anggap keluarga. Kecil-kecil juga, usaha kita udah punya. Kalau Oom udah tua nanti siapa lagi yang ngelanjutin kalau bukannya kamu-kamu. Terusin ajalah sekolah. Kamu nggak usah pikirin soal biaya. Biaya sekolah sampai selesai biar Oom dan Tante yang urus. Kamu pikirin sekolah aja. Kalau perlu, biar nanti Oom atau Tante ngomong sama ibu kamu.”
Tercenung saya mendengar kata-kata beliau. Batin saya mendua. Di satu pihak saya bersyukur ada orang berhati mulia yang begitu tulus memperhatikan dan mau membantu demi hari depan, tapi di pihak lain hati saya seolah berontak menolak utang budi.
Namun karena beliau terus menghibur dengan nasihat-nasihatnya, dan saya yakin bahwa niat beliau begitu tulus, akhirnya saya tidak punya pilihan selain menerima uluran tangannya.
"Jadi, setiap tanggal satu kamu datang aja ke sini ngambil duit buat sekolah,” ujarnya.
Ketika hal tersebut saya ceritakan kepada Ibu saya, Ibu menangis terharu. Seraya berlinang air mata, Ibu mendoakan agar amal beliau diterima Tuhan, dan semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rezeki kepada keluarga H. Achmad Bakrie.
Sejak saat itu, saya selalu memperoleh bantuan setiap bulan, sekalipun dalam hati tetap merasa risih hidup dari bantuan orang. Apalagi, jumlah bantuan yang diberikan ternyata jauh lebih dari cukup untuk sekedar uang sekolah dan ongkos.
Saya yakin bahwa sebetulnya maksud Haji Achmad Bakrie bukan sekedar membiayai sekolah saya, melainkan membantu membiayai hidup kami sekeluarga. Hanya saja beliau bersikap bijaksana tidak mengungkapkannya terus-terang kecuali mengatakan untuk menyekolahkan saya.
Perasaan risih menerima bantuan tersebut menyebabkan saya sering menghindari hari-hari sekitar tanggal satu. Namun apabila dua-tiga hari setelah tanggal satu saya tidak datang, selalu saja bantuan bulanan itu diantarkan ke rumah saya. Kadang oleh Pak Ucik, sopir beliau, kadang Ical atau Iwan yang mengantarkannya. Itu berlangsung bertahun-tahun.
Terdorong rasa risih menerima bantuan tersebut, diam-diam saya tetap berusaha mandiri agar bisa mencari uang sendiri, supaya tidak lagi hidup dari bantuan.
Menjelang akhir 1968 saya berhasil diterima menjadi wartawan pada surat kabar Warta Harian. Saat itu saya kuliah di Extension Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, setelah keluar dari ATN (Akademi Teknik Nasional) dan sebelumnya di Fakultas Teknik Perkapalan UBK, yang ditutup pemerintah akibat meletusnya pemberontakan G-30-S/ PKI.
Sudah setengah tahun saya bekerja, tapi saya tidak punya keberanian untuk mengatakannya terus-terang kepada Oom Bakrie. Saya takut beliau kecewa, bahkan takut beliau marah. Dan memang, ketika akhirnya tahu juga, beliau marah besar kepada saya.
"Oom kan sudah bilang, kalau kamu kerja juga sekolah juga, dua-duanya nggak bakal jadi. Semuanya bakal setengah-setengah. Terus-terang, Oom kecewa!”
Seperti yang saya harapkan, sejak itu memang betul Oom Bakrie tidak lagi memberi saya uang bulanan. Tapi pada sisi lain, perasaan bersalah karena telah mengecewakan niat baik beliau yang begitu tulus, menyebabkan saya betul-betul takut setengah mati.
Takut, sungguh takut! Begitu takutnya, sehingga selama beberapa tahun sejak itu saya tidak berani muncul di rumah Jalan Mataram. Setelah “menghilang” selama kurang-lebih tiga tahun, saya baru muncul kembali di hadapan Haji Achmad Bakrie pada awal April 1972.
Waktu itu saya sudah setahun pindah bekerja ke Harian Kompas, dan saya merencanakan akan menikah pada akhir bulan itu. Saya punya simpanan sedikit, sekedar cukup untuk biaya pernikahan sederhana dan mengontrak rumah kecil di dalam gang, bukan daerah elit.
Tetapi, karena salah perhitungan, uang itu terlanjur saya depositokan dan jatuh temponya baru sekitar sebulan setelah pernikahan saya. Sehingga, kalau deposito itu saya tarik, maka selain harus mengembalikan bunganya saya juga akan didenda.
Pikir-pikir, saya tidak punya pilihan selain minta pertolongan dengan meminjam kepada Oom Bakrie. Sambil melapor akan menikah, saya berharap kedatangan saya untuk minta pertolongan itu akan meluluhkan hati beliau.
Lalu saya mendatangi beliau di kantornya, di Jalan Asemka, Jakarta Kota, yang hanya sekitar 200 meter dari kantor saya di Jalan Pintu Besar Selatan. Jantung saya berdentang-dentung ketika setelah agak lama menunggu, saya dipersilakan masuk ke ruang kerja beliau oleh sekretarisnya.
Saya pikir, mungkin Oom Bakrie tidak akan menerima kedatangan saya. Atau, kalau pun menerima, pastilah pertama-tama beliau akan melampiaskan amarah lagi karena sikap saya yang menghindar selama tiga tahun lebih dan karena ternyata kekhawatirannya dulu benar, bahwa dengan menyambi bekerja, sekolah saya jadi terhenti.
Ternyata perkiraan saya tadi sepenuhnya keliru. Haji Achmad Bakrie menyapa saya dengan sangat baik. Tidak sedikit pun kemarahannya dulu itu tersisa. la baik sekali.
"Ke mana aja kamu nggak pernah nongol-nongol? Sekarang kamu kerja di Kompas, ya? Oom pernah baca tulisan kamu. Nggak sangka kamu bisa nulis.” ujarnya membuka obrolan.
Lalu, dan ini mengejutkan,
"Kalau kamu udah ngambil keputusan mau terus kerja, kamu harus kerja baik-baik. Mesti tekun, serius, mau kerja keras, jangan setengah-setengah. Yang penting juga, di mana saja kamu bekerja, harus jujur.”
Sementara saya belum selesai menikmati perasaan lega karena akhirnya beliau “merestui” juga keputusan saya untuk bekerja dan tidak meneruskan sekolah, beliau melanjutkan petuahnya:"Mencari orang pintar itu susah. Mencari orang jujur lebih susah lagi. Tapi mencari orang pintar yang jujur, atau orang jujur yang pintar, itu paling susah.”
Setelah cukup ngobrol ini-itu, beliau bertanya, "Ada perlu apa kamu tiba-tiba muncul di kantor?” Lalu, dengan kalimat agak tersendat-sendat, saya utarakanlah rencana saya akan menikah pada tangga1 30 April. Beliau dengan gaya dan suaranya beratnya yang khas, spontan memotong seraya tersenyum, "Kamu berani-berani menikah, apa udah sanggup ngasih makan anak orang?” "Insya Allah, sanggup, Oom. Orangnya mau diajak hidup susah, kok,” jawab saya."Bagus. Kalau orang mau berumah tangga, cinta aja nggak cukup. Cinta kan nggak bisa dimakan. Buat makan, mesti ada nafkah yang halal. Juga, kamu orang berdua harus jujur, mau berterus terang, ada saling pengertian, saling percaya, saling memberi dorongan, nggak mengkhayal yang muluk-muluk, sanggup hidup susah. Jadi, siapa tuh yang jadi bakal menantu Oom?”
"Namanya Hilda, Oom.” Setelah tanya ini tanya itu, beliau bertanya lagi. "Jadi, apa yang Oom perlu bantu?” Nah, ini dia pertanyaan yang saya tunggu-tunggu sejak tadi. Maka saya uraikanlah masalah deposito saya, seraya memperlihatkan kepada beliau bilyet deposito dan menunjukkan tanggal jatuh temponya. Saya katakan maksud saya meminjam uang sebanyak uang yang ada dalam deposito saya. Beliau lalu bertanya lagi. Pertanyaannya terdengar aneh. "Kamu mau Oom pinjemin, atau Oom kasih?” Ditanya seperti itu, andaikata saya tidak punya prinsip, pasti saya akan diberi uang kalau saja saya mengatakan mau minta. Tetapi, niat saya memang bukan meminta, melainkan meminjam. "Saya mau pinjam, Oom,” jawab saya. "Kalau pinjam, kapan kamu kembaliin?” "Begitu deposito ini jatuh tempo, Insya Allah hari itu juga saya kembaliin. Paling lambat besoknya, Oom.” "Baik, Oom mau pinjemin kamu. Oom kirim salam, ya, sama ibu kamu dan calon istri kamu.” Saya pun meninggalkan kantor NV Bakrie & Brothers di Jalan Asemka itu dengan sangat lega. Pertama, karena Oom Bakrie ternyata tidak marah lagi kepada saya sehingga berakhirlah rasa takut yang sudah tiga tahun menghantui. Kedua, masalah dana untuk pernikahan saya sudah teratasi. Dan, ketiga, saya berhasil mempertahankan prinsip untuk tidak meminta, meskipun tadi saya punya peluang kalau memang mau. [caption id="attachment_290100" align="aligncenter" width="900"] Ir. H. Aburizal Bakrie dan Istri Berfoto Bersama dalam suatu acara dengan H. Azkarmin Zaini dan Istri (Foto Dokumentasi Pribadi)[/caption] Hampir dua bulan kemudian, tepat pada hari deposito saya jatuh tempo, setelah mengambil uang di bank, saya langsung ke kantor Bakrie & Brothers di Asemka. Haji Achmad Bakrie langsung menyalami saya memberi selamat berhubung beliau sekeluarga tidak bisa menghadiri pernikahan saya karena saya menikah tidak di Jakarta melainkan di Padang. Kami ngobrol sebentar, lalu saya utarakanlah bahwa hari itu saya datang untuk mengembalikan uang yang saya pinjam tempo hari. "Terima kasih sekali, Oom,” ujar saya seraya menyerahkan uang yang masih utuh di dalam amplop bank. “Betul kamu nggak perlu lagi uang ini?” tanya beliau. “Betul, Oom, terima kasih.” “Baik, deh,” ujarnya seraya mengambil amplop berisi uang itu dari tangan saya, lalu memasukkannya ke dalam laci meja kerjanya. Sesaat kemudian Haji Achmad Bakrie berkata lagi:"Terus terang, Oom hargai kamu karena kamu jujur. Dulu kamu pinjam, sekarang pinjaman kamu kembaliin tepat waktu. Orang kalau mau hidup yang benar, mesti begitu. Mulut mesti bisa dipegang. Apalagi laki-laki. Orang laki kalau janji mesti ditepati. Janjinya mesti bisa dipegang.”
Selanjutnya beliau memberi petuah yang lebih mengandung makna filosofis. Katanya,"Kalau kita berutang, wajib kita membayarnya tepat waktu. Kalau kita nggak sanggup bayar pakai duit karena belum cukup punya duit, sekurang-kurangnya kita harus bayar pakai muka.”
“Maksud Oom?”“Kalau kita belum mampu bayar pakai duit, maka pada hari kita mesti bayar utang itu kita harus datang. Temui orang itu tepat waktu. Tunjukkan muka kita, minta maaf, dan bilang terus terang kita belum sanggup bayar, lalu minta waktu, minta tunda. Itu yang namanya kita bayar pakai muka. Mesti begitu. Jangan malah kita ngabur-ngabur menghindar. Itu pantang. Jadi, kalau bayar pakai muka saja kita udah nggak sanggup, berarti muka kita udah nggak ada harganya tuh. Kalau muka udah nggak ada harganya lagi, ya berhenti aja jadi orang.”
Lagi-lagi saya tercenung mendengar filosofi beliau yang luar biasa dalam itu. Semakin kagum saja saya pada orang tua ini. Lalu, ketika tiba saatnya saya berpamitan dan berdiri, Haji Achmad Bakrie berkata, "Men, Oom mau titip buat istri kamu. Tolong disampein, ya.” la mengatakannya seraya membuka laci, lalu mengambil amplop dari dalam laci itu, dan menyerahkan amplop itu ke tangan saya. Sesaat saya terkesima karena ternyata amplop tersebut adalah amplop bank berisi uang yang tadi saya serahkan kepada beliau untuk membayar utang. "Lho ...?” Belum sempat saya mengatakan apa-apa, beliau memotong: "Ini bukan buat kamu, kok. Oom titip buat istri kamu. Tolong disampein, ya.” Maka saya pun tidak bisa berbuat apa-apa selain mengulangi lagi ucapan terima kasih. Sebetulnya sudah sejak saya di SMA saya mengagumi Haji Achmad Bakrie. Bahkan juga keluarga Bakrie. Sama sekali bukan karena saya pernah dibiayai sekolah, tapi karena banyak sekali teladan yang saya petik dari kehidupan keluarga itu. Pada saat saya mulai mengenal mereka pada tahun 1961, usaha NV Bakrie & Brothers sudah mulai berkembang sehingga keluarga Bakrie sudah cukup kaya. Pada masa itu orang kaya di negeri ini masih bisa dihitung dengan jari. Haji Achmad Bakrie sudah punya setidaknya tiga mobil: satu sedan Morris, satu Mercedes 180 warna biru yang nomor polisinya saya masih ingat hingga sekarang, yaitu B 7971. Dan, Haji Achmad Bakrie sendiri mengendarai Mercedes 220S, yang masih langka waktu itu. Belakangan, H. Achmad Bakrie bahkan punya sedan sport Mustang, yang setahu saya merupakan Mustang pertama di Indonesia. Meskipun saya berasal dari keluarga tidak mampu, di dalam hati saya punya kebanggaan tersendiri karena pernah menyetir Mustang itu mengantarkan Tante Roos berbelanja ke pasar Mayestik. Bahkan daripada Ical, yang saat Mustang itu datang sedang tidak ada di Jakarta, saya sudah lebih dulu merasakannya. Ha-ha-ha-haaa! Tidak sedikit orang kaya yang gagal mendidik anak-anaknya. Dulu saya juga punya banyak teman lain yang keluarganya kaya, tetapi sekolah mereka tidak beres dan pergaulannya tidak karuan. Tetapi, suami-istri Bakrie termasuk di antara sedikit yang berhasil itu. Cara mereka mendidik anak-anak baik sekali, sehingga anak-anak mereka termasuk bintang di sekolah. Secara duniawi mereka berhasil, urusan akhirat pun ditekuni. Semua mereka bisa mengaji, dan sembahyang lima waktu tidak lepas dari kehidupan mereka sehari-hari. Saya ingat, semasa sekolah dahulu kami senantiasa bersembahyang Jumat bersama di Masjid Agung Al Azhar. Haji Achmad Bakrie pun selalu berusaha menyempatkan diri sembahyang Jumat di sana. Beliau pernah mengatakan kepada saya, dia sengaja melakukan hal itu, artinya pergi shalat Jumat bersama anak-anak, dengan maksud untuk mendidik mereka bahwa salat Jumat itu wajib, sebagaimana shalat lima waktu. Bakrie memang biasa mendidik dengan memberi contoh teladan. Pada dekade 1960-an itu Haji Achmad Bakrie sudah biasa mondar-mandir ke luar negeri. Saya sering ikut mengantar beliau ke lapangan terbang Kemayoran tatkala beliau berangkat, dan ikut menjemput kepulangannya. Sesekali, beliau ke luar negeri mengajak seluruh keluarganya, terutama kalau liburan kenaikan kelas dan nilai rapor anak-anak tinggi. Beberapa tahun yang lalu, saat ngobrol dengan Haji Achmad Bakrie ketika saya berkunjung ke rumahnya di Simpruk pada hari Idul Fitri, Oom Bakrie mengungkapkan bahwa kalau dulu ia sesekali membawa Ical, Odi, Iwan, dan Indra ke luar negeri, tujuannya bukan semata-mata bersenang-senang, apalagi berfoya-foya, melainkan lebih dalam rangka pendidikan. [caption id="attachment_290101" align="aligncenter" width="900"] Suatu kali tahun 1969, Satu Keluarga Mengunjungi Perancis. Dari kiri H. Achmad Bakrie, Indra U. Bakrie, Odi Kusmuljono, Hj. Roosniah Bakrie, Aburizal Bakrie, dan Nirwan D. Bakrie (Foto Dokumentasi Keluarga)[/caption] "Supaya mereka jangan menjadi seperti katak di bawah tempurung. Supaya belajar dari pengalaman bangsa-bangsa yang sudah lebih maju, mencontoh sikap ulet mereka menghadapi persoalan-persoalan hidup, supaya mencontoh cara berpikir modern,” ujar beliau. Selain itu, menurut Bakrie, di luar negeri ia selalu mengajak anak-anaknya ke tempat-tempat bersejarah. "Oom suka membaca sejarah karena banyak hal yang bisa kita peroleh dari sejarah. Kalau kita mau jadi bangsa yang besar, kita harus mendalami sejarah bangsa-bangsa besar.” Begitu pula kalau sesekali beliau mengajak anak-anak pergi makan di Hotel Indonesia, tempat makan kelas elit yang paling top pada masa itu. Katanya, "Supaya anak-anak tahu tata cara makan di tempat resmi, supaya biasa berpakaian bersih dan rapi. Dengan melihat orang sebagai contoh, akan lebih mudah kita belajar.” Di samping sejarah, Haji Achmad Bakrie yang pendidikan formalnya hanya sampai di HIS itu suka mendalami filosofi. Kepada saya, beliau pernah mengatakan,“Orang yang tidak punya filosofi hidup, sama seperti bangunan tanpa pilar-pilar yang kokoh, sehingga gampang ambruk. Pondasi dan pilar kehidupan kita harus kokoh. Pondasinya itu agama, dan pilarnya filosofi.”
Dan memang, filosofi hidup Haji Achmad Bakrie dalam sekali. Contohnya antara lain “filosofi utang” seperti yang saya ceritakan di atas. Betapa dalamnya filosofi itu: bayar utang tepat waktu, kalau tidak sanggup bayar pakai uang, wajib membayarnya dengan muka! Pengalaman pribadi saya ketika meminjam uang itu pun bukannya tidak mengandung makna filosofi. Pertama, saya yakin pasti beliau mau menguji, apakah saya sebenarnya mau meminta tapi pura-pura bilang meminjam, ataukah memang benar-benar mau meminjam. Beliau ingin menguji kejujuran saya, dan kejujuan itu juga filosofi hidup yang sering diajarkan beliau kepada saya, dan saya yakin tentu juga kepada anak-anak beliau. Kedua, beliau ingin menguji apakah janji saya bisa dipegang. Maka ketika saya betul-betul memenuhi janji dan membayarnya tepat waktu, beliau pun terus-terang menyatakan penghargaannya. Ketiga, beliau memisahkan betul sikap bisnis dan sikap atas dasar kekeluargaan. Sikap zakelijk yang merupakan sikap dasar berbisnis terlihat ketika beliau menerima uang utang yang saya kembalikan lalu memasukkannya ke dalam laci. Kemudian ketika urusan utang-piutang telah selesai, ia memberikan kembali uang tadi kepada saya dengan pesan: "Oom titip buat istri kamu.” Bahkan dengan mengatakan "titip buat istri kamu” itu terasa betul sikapnya yang arif dan bijaksana. Beliau tahu karakter pribadi saya, sehingga tentu memperkirakan saya akan menampik kalau dikatakannya uang itu untuk saya. Tapi, karena dikatakan “titip” untuk istri saya, maka saya pun tidak layak menolak. Haji Achmad Bakrie merupakan pribadi menarik dan berkarakter sangat kuat. Pakaiannya senantiasa necis, penampilan-nya dandy. Matanya sipit dan kulitnya bersih kuning langsat, sehingga orang yang tidak mengenalnya mudah keliru mengira ia keturunan Cina. Tingginya sekitar 162 - 164 sentimeter, tetapi terkesan pendek karena perawakannya agak gemuk. Suaranya besar, berat, dan basah. la suka bergurau dan menikmati kelucuan. [caption id="attachment_290102" align="aligncenter" width="900"] Menggamit sang istri dengan mesra, ketika merayakan usia ke 40 perkawinan mereka di hotel bintang lima Jakarta, 1985. (Foto Dokumentasi Keluarga)[/caption] Tawanya berderai lepas. dan kalau terkekeh-kekeh matanya nyaris hilang tinggal segaris. Tapi kalau sedang marah, suaranya menggelegar. Itulah sekedar gambaran sosok diri Haji Achmad Bakrie, anak pribumi yang berhasil menjadi aset nasional sebagai pengusaha sukses. Dengan karakter pribadi yang sangat kuat, maka penampilan Haji Achmad Bakrie sehari-hari cenderung flamboyan. Agaknya almarhum Haji Achmad Bakrie tergolong pribadi yang temperamental. la meledak kalau sedang marah, tetapi kalau amarahnya sudah lepas, ya selesai sudah. Sebaliknya ia juga berhati lembut, bahkan sentimental. Seperti pernah diakuinya dalam suatu percakapan dengan saya, lubuk hatinya mudah tersentuh oleh hal-hal yang merangsang rasa iba dan kesedihan. Ia juga menjadi romantis oleh hal-hal yang indah. Perasaan sentimental dan romantis ini terbentuk antara lain karena kegemarannya membaca bahkan menghafal puisi-puisi indah ciptaan sastrawan terkemuka. Haji Achmad Bakrie rajin mencatat puisi-puisi indah karangan sastrawan-sastrawan besar Barat yang ditemukannya dalam buku-buku, dan ia juga ingin memiliki buku kumpulan puisi sastrawan Indonesia. Salah satu puncak rasa sentimentalitasnya tertuang pada hari pernikahan putri tunggalnya, Roosmania (Odi), dengan Bangun Kusmuljono (Busye), Juli 1972. Hari itu, di mana untuk pertama kalinya Haji Achmad Bakrie bermenantu, ia memberikan petuah nikah yang amat menyentuh kalbu. la sendiri yang menyusun naskah pidatonya, yang dibacanya di hadapan seribu lebih undangan dengan suara parau terbata-bata menelan tangis. Sayang sekali saya tidak memiliki salinan naskah pidatonya itu. Tetapi saya ingat, isinya mengungkapkan betapa suami-istri Bakrie amat mencintai putra-putrinya, yang dilukiskannya dengan sangat puitis. Odi digambarkannya sebagai gadis yang menarik, pintar, elok laku, pandai membawakan diri, dan berbudi tinggi. "Ibarat mawar, engkau adalah mawar yang tak berduri,” demikian kalimatnya yang saya ingat betul hingga sekarang. Kepada menantunya, Busye yang sudah sarjana, ia berpesan agar terus melanjutkan pendidikan lebih tinggi lagi karena menjadi sarjana saja belum cukup. Pada bagian pidato yang melukiskan kecintaannya kepada putri tunggalnya dan keikhlasannya melepas Odi kepada Busye, Haji Achmad Bakrie menangis. Hadirin pun tidak sedikit yang ikut berlinang air mata, termasuk saya dan istri saya, karena untaian kata-katanya yang teramat menyentuh. Itulah pidato petuah nikah paling indah, paling menyentuh, dan paling berkesan yang pernah saya dengar. Saya merasa beruntung pernah punya kesempatan kenal dekat dengan Haji Achmad Bakrie. Ayah saya meninggal di kala saya masih remaja, pada masa saya justru sedang membutuhkan bimbingan dalam pembentukan kepribadian. Namun saya beryukur bahwa pada masa kritis seperti itu ada Haji Achmad Bakrie yang menjadi seperti pengganti ayah bagi saya. Secara langsung maupun tidak langsung, didikan dan keteladanan beliau banyak membentuk filosofi hidup saya. Haji Achmad Bakrie terasa pas menempatkan diri dalam kesehari-harian. la menjadi ayah yang dikagumi putra-putrinya, sekaligus juga teman dalam suasana santai dan sahabat dalam membantu memecahkan persoalan-persoalan. Kebiasaannya yang ceplas-ceplos kalau berbicara, sesungguhnya merupakan pertanda sosok pribadinya yang terbuka, demokratis, bahkan kadang cenderung liberal meskipun tetap dalam batas-batas budaya ketimuran. Saya merasakan betapa beliau senantiasa menghargai lawan bicaranya, sekalipun dalam menghadapi orang yang jauh lebih muda seperti saya. Tidak pernah terbersit kesan ia menganggap remeh orang lain, dan sebaliknya ia juga tidak suka dipandang enteng. Beliau kaya materi, bahkan boleh dibilang kaya raya, namun tetap rendah hati. Saya tahu ia banyak beramal, meskipun semua itu dilakukannya secara diam-diam. Ia memegang teguh ajaran Islam yang menganjurkan "Kalau tangan kiri memberi, tangan kanan pun tidak perlu tahu”. Meskipun pendidikannya cuma sampai HIS, Bakrie memiliki pengetahuan yang luas dalam banyak bidang. Ia banyak membaca dan belajar sendiri sehingga berhasil mengembangkan dirinya menjadi otodidak yang sukses. Lobinya pun kuat sekali. Ia luwes dalam pergaulan, bahkan bergaul akrab dengan banyak orang besar dan tokoh terkemuka, tapi tidak pernah membangga-banggakannya. Intuisinya tajam, seolah bisa membaca isi hati dan pikiran lawan bicaranya. Haji Achmad Bakrie menghargai kejujuran dan loyalitas, tidak menyukai kesombongan, dan marah besar kalau dibohongi. la pandai memelihara persahabatan, dan memiliki kemampuan tersendiri dalam menarik garis batas antara urusan bisnis dan rasa kekeluargaan. la sangat mencintai keluarganya, dan baginya orangtua adalah nomor satu. Pada dekade tahun 1960-an, saya sering menyaksikan sendiri betapa Haji Achmad Bakrie sangat mencitai ibundanya yang sudah lanjut usia, dan senantiasa bersikap santun kepada beliau. Tidak suka menonjolkan diri, atau low profile, juga merupakan ciri kepribadian Haji Achmad Bakrie. Pada tahun 1986, saya pernah menulis profil Ir H. Aburizal Bakrie karena Ical berhasil terpilih sebagai satu di antara sepuluh “The Outstanding Young Persons” (Orang Muda Berkarya) oleh organisasi Jaycees International dan memperoleh penghargaan yang diserahkan di Nagoya, Jepang. Beberapa minggu kemudian, ketika saya datang untuk mengunjungi Ical di Wisma Bakrie, saat keluar dari lift, secara berkebetulan saya berpapasan dengan Haji Achmad Bakrie yang sedang menunggu lift untuk turun. Begitu melihat saya, beliau langsung mengajak saya masuk kembali ke dalam lift, lalu kami turun bersama. Di dalam lift, kemudian dilanjutkan di lobi, beliau berkata, "Menarik, tuh, kamu nulis tentang Ical. Cuman, Oom boleh minta tolong, ya?” "Pasti boleh, Oom. Apa yang saya bisa tolong?” "Kamu nulis Ical segitu aja udah cukup, deh. Bagus. Cuman tolong, jangan sering-sering Ical kamu masukin koran. Kalau kelewat sering di-expose di koran, nanti nggak baik. Pasti ada aja orang yang nggak suka. Tolong, ya Men.” "Baik, Oom, akan saya perhatikan.” Low profile memang sudah kepribadian Haji Achmad Bakrie. Saya ingat betul bahwa pada bulan April 1973, saya bermaksud menulis di Harian Kompas tentang pengusaha-pengusaha nasional terkemuka. Saya ingin menampilkan profil usahawan pribumi yang mencapai sukses dengan meniti usahanya dari bawah. Tentu saja yang pertama saya temui adalah Haji Achmad Bakrie. Ternyata beliau menolak. "Oom ini bukan apa-apa. Oom cuma orang yang berpendidikan rendah. Banyak orang lain yang lebih pantas kamu tampilin,” ujarnya mengelak. "Justru karena Oom berlatar belakang pendidikan rendah tapi berhasil membangun usaha benar-benar dari bawah hingga mencapai sukses, masyarakat layak mengenal Oom dan mengambil hikmah dari pengalaman-pengalaman Oom,” sahut saya berusaha membujuk. "Oom jangan, deh. Orang lain ajalah.” Betapa pun saya membujuk, beliau tidak bersedia. Saya juga sudah minta bantuan Ical untuk ikut membujuk, namun beliau tetap keras menolak. Lalu saya mulai menggarap tokoh lain lebih dulu, dengan harapan mudah-mudahan dengan demikian Haji Achmad Bakrie bisa terpancing dan bersedia diprofilkan. Saya mewawancarai Dr. Tumpal D. Pardede, pengusaha ulet asal Sumatera Utara, dan tulisan profilnya dimuat pada hari Kamis 10 Mei 1973. Lalu saya juga berhasil menulis profil Dr Haji Masagus Nur Muhammad Hasyim Ning, “Raja Mobil” pada masa itu, yang dimuat hari Sabtu 7 Juli tahun yang sama. Ketika setelah itu saya mencoba lagi membujuk Haji Achmad Bakrie, beliau menyambut dengan pujian: "Oom baca tulisan kamu tentang Pardede dan Hasyim Ning. Bagus, tuh, tulisan kamu.”"Terima kasih, Oom. Makanya sekarang giliran Oom, dong, yang ditampilin. Kapan Oom ada waktu kita ngobrol-ngobrol buat bahan tulisan?” Ujar saya langsung “menodong”. Ternyata Bakrie tetap tidak bersedia, dengan cara merendah bahwa ia tidak layak ditulis di koran. "Masih banyak orang lain yang lebih pantas,” katanya. Gagal lagi pada saat itu, saya terus berusaha membujuknya pada setiap kesempatan. Bahkan sampai beberapa tahun selalu saya ulangi mencoba, berkali-kali juga dibantu Ical, namun hasilnya tetap nihil. Lebih dari dua belas tahun kemudian, saya merasa mendapat durian runtuh ketika pada suatu hari menjelang pertengahan Februari 1986 tiba-tiba Haji Achmad Bakrie menelepon saya, dan mengajukan pertanyaan yang malah seperti “menantang”. Katanya, "Men, kamu masih mau ngewawancarain Oom, nggak?” Alhamdulillah! “Macan” yang sudah belasan tahun saya buru malah tiba-tiba menyerahkan diri setelah lama saya sendiri putus asa sehingga berhenti memburunya. Tentu saja peluang emas itu tidak saya sia-siakan. Maka kami pun membuat janji berwawancara di rumah beliau di Simpruk, dilanjutkan beberapa hari kemudian di ruang kerjanya yang lapang dan nyaman di Wisma Bakrie. Hasil wawancara itu kemudian dimuat dalam edisi Minggu 16 Februari 1986. Tulisan berbentuk kutipan dialog panjang-lebar yang mendapat perhatian luas dari masyarakat pembaca itu ternyata sampai akhir hayatnya merupakan satu-satunya publikasi yang pernah ada mengenai Haji Achmad Bakrie atas dasar bahan yang bersumber dari wawancara langsung dengan beliau. Dan saya bersyukur bahwa pada akhirnya beliau memberi juga kesempatan kepada saya untuk mewawancarai dan menulis tentangnya. Dalam masa awal dekade 1980-an, karena kesibukan kerja sehari-hari sebagai wartawan, saya agak jarang bertemu dengan beliau. Tetapi yang pasti, sekurang-kurangnya pada setiap Idul Fitri saya bersama istri dan anak-anak senantiasa menyempatkan diri mengunjungi rumah besar beliau di kawasan Simpruk, Kebayoran Baru. Pada Idul Fitri tahun 1986, atau mungkin 1985 saya tidak ingat persis, kebetulan saya datang kesorean sehingga rumah beliau yang selalu penuh-sesak dengan tamu setiap Hari Raya, saat itu sudah mulai sepi. [caption id="attachment_290103" align="aligncenter" width="900"] Bergambar saat lebaran di Simpruk. Keluarga besar yang selalu tampak rukun. Itu agaknya jauh lebih berharga daripada warisan harta berbilang-bilang jumlahnya (Foto Dokumentasi Keluarga)[/caption] Setelah kami ngobrol bersama suami-istri Bakrie, beliau mengajak saya pindah duduk ke ruang makan. Pada kesempatan berbicara berdua itu beliau pertama-tama menanyakan kesibukan saya sehari-hari, lalu menceritakan ihwal kesibukan kerja ketiga putranya satu persatu: Ical, Iwan, dan Indra. Dari ceritanya dan caranya bercerita, saya merasakan betul betapa beliau teramat bangga akan kesuksesan anak-anaknya. Pada kesempatan itu beliau bertanya, apakah saya menyukai pekerjaan saya. Saya jawab, saya merasa cocok sekali. Syukurlah kalau begitu, katanya. Lalu, sangat di luar dugaan saya, beliau tiba-tiba berujar, "Oom lihat persahabatan kamu dengan Ical dan adik-adik kuat sekali dan tidak luntur. Sebetulnya Oom kepingin kamu ikut membantu Ical. Tapi kalau kamu memang senang sama pekerjaanmu sekarang, nggak apalah.” Terharu saya mendengar kata-kata beliau. Maka untuk menjaga perasaan beliau, saya pun mencoba menjelaskan bahwa saya sejak pertama kali bekerja sudah menjadi wartawan, sehingga saya tidak punya keahlian lain selain di bidang kewartawanan. Saya bahkan buta dalam urusan bisnis. "Sebetulnya dengan keahlian dan pengalamanmu yang sudah belasan tahun sebagai wartawan, kamu bisa banyak membantu Ical dan adik-adik. Itu nggak soal,” ujarnya lagi. Lalu saya jelaskan pendirian saya bahwa demi persahabatan, sebaiknya saya tetap bekerja di luar Grup Bakrie saja. Saya khawatir nanti hubungan kerja bisa merusak hubungan persahabatan. Dan kalau saya terpaksa mesti memilih di antara keduanya, pasti saya memilih persahabatan. Bakrie tercenung, kemudian berujar: "Baiklah, Oom hargai pendirian kamu. Oom cuma minta supaya kamu tetap memelihara baik-baik persahabatanmu dengan Ical dan adik-adik.” Pada saat dialog itu berlangsung, tidak pernah saya bayangkan bahwa betapa pun saya punya keinginan dan pendirian seperti itu, rupanya Tuhan menghendaki lain. Sebab, entah apa yang menggerakkan hati saya, kenyataannya sejak 1 Januari 1990 saya sudah pindah kerja ke lingkungan Grup Bakrie. Ical memberi saya tanggung jawab mengelola usaha di bidang media massa sebagai Direktur PT Usaha Media Massa Nusantara, dan ikut mengembangkan Harian Pelita sebagai Pemimpin Redaksi. [caption id="attachment_290104" align="aligncenter" width="800"] Ir. H. Aburizal Bakrie dan H. Azkarmin Zaini berkolaborasi Membangun Media yang Bermanfaat untuk Bangsa (Foto Dokumentasi Pribadi)[/caption] Sayang sekali Haji Achmad Bakrie, figur idola anak-anaknya dan juga menjadi idola saya, tidak sempat mengetahuinya. Sebab, sekitar dua tahun setelah wawancaranya saya tulis di koran dan dua tahun sebelum saya bergabung di Grup Bakrie, beliau telah meninggalkan dunia yang fana, kembali kepada Penciptanya. Haji Achmad Bakrie pergi setelah merampungkan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga, setelah semua putra putrinya berkeluarga dan memberinya banyak cucu, setelah berhasil mendidik anak-anaknya menjadi kader penerus “kerajaan” Grup Bakrie yang dirintisnya betul-betul dari bawah. la pergi dengan tenang. Oleh: H. Azkarmin Zaini (Direktur News & Sports, PT. Cakrawala Andalas Televisi)Dikutip dari: Buku "Achmad Bakrie - Sebuah Potret Kerja Keras, Kejujuran, dan Keberhasilan" Syafruddin Pohan, dkk. Cetakan Kedua (e-book), 2011, PT Bakrie & Brothers Tbk, ISBN : 978-602-98628-0-5Baca Juga :