"Oom kan sudah bilang, kalau kamu kerja juga sekolah juga, dua-duanya nggak bakal jadi. Semuanya bakal setengah-setengah. Terus-terang, Oom kecewa!”
Seperti yang saya harapkan, sejak itu memang betul Oom Bakrie tidak lagi memberi saya uang bulanan. Tapi pada sisi lain, perasaan bersalah karena telah mengecewakan niat baik beliau yang begitu tulus, menyebabkan saya betul-betul takut setengah mati.Takut, sungguh takut! Begitu takutnya, sehingga selama beberapa tahun sejak itu saya tidak berani muncul di rumah Jalan Mataram. Setelah “menghilang” selama kurang-lebih tiga tahun, saya baru muncul kembali di hadapan Haji Achmad Bakrie pada awal April 1972.Waktu itu saya sudah setahun pindah bekerja ke Harian Kompas, dan saya merencanakan akan menikah pada akhir bulan itu. Saya punya simpanan sedikit, sekedar cukup untuk biaya pernikahan sederhana dan mengontrak rumah kecil di dalam gang, bukan daerah elit.Tetapi, karena salah perhitungan, uang itu terlanjur saya depositokan dan jatuh temponya baru sekitar sebulan setelah pernikahan saya. Sehingga, kalau deposito itu saya tarik, maka selain harus mengembalikan bunganya saya juga akan didenda.Pikir-pikir, saya tidak punya pilihan selain minta pertolongan dengan meminjam kepada Oom Bakrie. Sambil melapor akan menikah, saya berharap kedatangan saya untuk minta pertolongan itu akan meluluhkan hati beliau.Lalu saya mendatangi beliau di kantornya, di Jalan Asemka, Jakarta Kota, yang hanya sekitar 200 meter dari kantor saya di Jalan Pintu Besar Selatan. Jantung saya berdentang-dentung ketika setelah agak lama menunggu, saya dipersilakan masuk ke ruang kerja beliau oleh sekretarisnya.Saya pikir, mungkin Oom Bakrie tidak akan menerima kedatangan saya. Atau, kalau pun menerima, pastilah pertama-tama beliau akan melampiaskan amarah lagi karena sikap saya yang menghindar selama tiga tahun lebih dan karena ternyata kekhawatirannya dulu benar, bahwa dengan menyambi bekerja, sekolah saya jadi terhenti.Ternyata perkiraan saya tadi sepenuhnya keliru. Haji Achmad Bakrie menyapa saya dengan sangat baik. Tidak sedikit pun kemarahannya dulu itu tersisa. la baik sekali. "Ke mana aja kamu nggak pernah nongol-nongol? Sekarang kamu kerja di Kompas, ya? Oom pernah baca tulisan kamu. Nggak sangka kamu bisa nulis.” ujarnya membuka obrolan.Lalu, dan ini mengejutkan,
"Kalau kamu udah ngambil keputusan mau terus kerja, kamu harus kerja baik-baik. Mesti tekun, serius, mau kerja keras, jangan setengah-setengah. Yang penting juga, di mana saja kamu bekerja, harus jujur.”
Sementara saya belum selesai menikmati perasaan lega karena akhirnya beliau “merestui” juga keputusan saya untuk bekerja dan tidak meneruskan sekolah, beliau melanjutkan petuahnya:"Mencari orang pintar itu susah. Mencari orang jujur lebih susah lagi. Tapi mencari orang pintar yang jujur, atau orang jujur yang pintar, itu paling susah.”
Setelah cukup ngobrol ini-itu, beliau bertanya, "Ada perlu apa kamu tiba-tiba muncul di kantor?” Lalu, dengan kalimat agak tersendat-sendat, saya utarakanlah rencana saya akan menikah pada tangga1 30 April. Beliau dengan gaya dan suaranya beratnya yang khas, spontan memotong seraya tersenyum, "Kamu berani-berani menikah, apa udah sanggup ngasih makan anak orang?” "Insya Allah, sanggup, Oom. Orangnya mau diajak hidup susah, kok,” jawab saya."Bagus. Kalau orang mau berumah tangga, cinta aja nggak cukup. Cinta kan nggak bisa dimakan. Buat makan, mesti ada nafkah yang halal. Juga, kamu orang berdua harus jujur, mau berterus terang, ada saling pengertian, saling percaya, saling memberi dorongan, nggak mengkhayal yang muluk-muluk, sanggup hidup susah. Jadi, siapa tuh yang jadi bakal menantu Oom?”
"Namanya Hilda, Oom.” Setelah tanya ini tanya itu, beliau bertanya lagi. "Jadi, apa yang Oom perlu bantu?” Nah, ini dia pertanyaan yang saya tunggu-tunggu sejak tadi. Maka saya uraikanlah masalah deposito saya, seraya memperlihatkan kepada beliau bilyet deposito dan menunjukkan tanggal jatuh temponya. Saya katakan maksud saya meminjam uang sebanyak uang yang ada dalam deposito saya.Beliau lalu bertanya lagi. Pertanyaannya terdengar aneh. "Kamu mau Oom pinjemin, atau Oom kasih?” Ditanya seperti itu, andaikata saya tidak punya prinsip, pasti saya akan diberi uang kalau saja saya mengatakan mau minta. Tetapi, niat saya memang bukan meminta, melainkan meminjam.Baca Juga :