HUT Kelompok Usaha Bakrie ke-78, Haji Achmad Bakrie Figur Idola

HUT Kelompok Usaha Bakrie ke-78, Haji Achmad Bakrie Figur Idola (Foto Kolase)
HUT Kelompok Usaha Bakrie ke-78, Haji Achmad Bakrie Figur Idola (Foto Kolase) (Foto : )
"Saya mau pinjam, Oom,”
jawab saya. "Kalau pinjam, kapan kamu kembaliin?” "Begitu deposito ini jatuh tempo, Insya Allah hari itu juga saya kembaliin. Paling lambat besoknya, Oom.”
"Baik, Oom mau pinjemin kamu. Oom kirim salam, ya, sama ibu kamu dan calon istri kamu.” Saya pun meninggalkan kantor NV Bakrie & Brothers di Jalan Asemka itu dengan sangat lega. Pertama, karena Oom Bakrie ternyata tidak marah lagi kepada saya sehingga berakhirlah rasa takut yang sudah tiga tahun menghantui. Kedua, masalah dana untuk pernikahan saya sudah teratasi. Dan, ketiga, saya berhasil mempertahankan prinsip untuk tidak meminta, meskipun tadi saya punya peluang kalau memang mau.[caption id="attachment_290100" align="aligncenter" width="900"] Ir. H. Aburizal Bakrie dan Istri Berfoto Bersama dalam suatu acara dengan H. Azkarmin Zaini dan Istri (Foto Dokumentasi Pribadi) Ir. H. Aburizal Bakrie dan Istri Berfoto Bersama dalam suatu acara dengan H. Azkarmin Zaini dan Istri (Foto Dokumentasi Pribadi)[/caption]Hampir dua bulan kemudian, tepat pada hari deposito saya jatuh tempo, setelah mengambil uang di bank, saya langsung ke kantor Bakrie & Brothers di Asemka. Haji Achmad Bakrie langsung menyalami saya memberi selamat berhubung beliau sekeluarga tidak bisa menghadiri pernikahan saya karena saya menikah tidak di Jakarta melainkan di Padang.Kami ngobrol sebentar, lalu saya utarakanlah bahwa hari itu saya datang untuk mengembalikan uang yang saya pinjam tempo hari. "Terima kasih sekali, Oom,” ujar saya seraya menyerahkan uang yang masih utuh di dalam amplop bank. “Betul kamu nggak perlu lagi uang ini?” tanya beliau. “Betul, Oom, terima kasih.” “Baik, deh,” ujarnya seraya mengambil amplop berisi uang itu dari tangan saya, lalu memasukkannya ke dalam laci meja kerjanya.Sesaat kemudian Haji Achmad Bakrie berkata lagi:

"Terus terang, Oom hargai kamu karena kamu jujur. Dulu kamu pinjam, sekarang pinjaman kamu kembaliin tepat waktu. Orang kalau mau hidup yang benar, mesti begitu. Mulut mesti bisa dipegang. Apalagi laki-laki. Orang laki kalau janji mesti ditepati. Janjinya mesti bisa dipegang.”

Selanjutnya beliau memberi petuah yang lebih mengandung makna filosofis. Katanya,

"Kalau kita berutang, wajib kita membayarnya tepat waktu. Kalau kita nggak sanggup bayar pakai duit karena belum cukup punya duit, sekurang-kurangnya kita harus bayar pakai muka.”

“Maksud Oom?”

“Kalau kita belum mampu bayar pakai duit, maka pada hari kita mesti bayar utang itu kita harus datang. Temui orang itu tepat waktu. Tunjukkan muka kita, minta maaf, dan bilang terus terang kita belum sanggup bayar, lalu minta waktu, minta tunda. Itu yang namanya kita bayar pakai muka. Mesti begitu. Jangan malah kita ngabur-ngabur menghindar. Itu pantang. Jadi, kalau bayar pakai muka saja kita udah nggak sanggup, berarti muka kita udah nggak ada harganya tuh. Kalau muka udah nggak ada harganya lagi, ya berhenti aja jadi orang.”

Lagi-lagi saya tercenung mendengar filosofi beliau yang luar biasa dalam itu. Semakin kagum saja saya pada orang tua ini.Lalu, ketika tiba saatnya saya berpamitan dan berdiri, Haji Achmad Bakrie berkata,