Catatan Ilham Bintang: Secangkir Kopi Susu Terakhir Remy Sylado

Catatan Ilham Bintang: Secangkir Kopi Susu Terakhir Remy Sylado
Catatan Ilham Bintang: Secangkir Kopi Susu Terakhir Remy Sylado (Foto : Istimewa)

Remy ekstrim dalam meletakkan orisinalitas dan kejujuran sebagai parameter menilai sebuah karya seni. Lihat saja ketika dia menulis dan mementaskan drama musikal "Jesus Christ " di Istora. Jesus dicreatenya berkulit hitam dan mengayuh becak di atas pentas. Jelas, ia ingin menegaskan tafsirnya, sejurus dengan keliaran imajinasinya, Jesus dibuatnya sebagai manusia manusia biasa dari sumber kehidupan masyarakat marginal. Itu sekaligus manifesto prinsip Remy sendiri, dia ada di posisi orang banyak, dekat di nadi rakyat. Tidak mengikuti kegandrungan sebagian seniman terkenal kita yang memilih berumah di "menara gading". Berbeda dengan casing sehari-harinya Remy selalu tampil parlente, necis, kemeja warna menyala, pantalon dan sepatu warna senada, putih. Tapi saya harus stop uraiannya mengenai itu karena ruang seluas apapun tak cukup untuk menampung telaahnya.

Japi Tambayong

Remy Sylado terlahir dengan nama Japi Panda Abdiel Tambajong (EYD: Yapi Panda Abdiel Tambayong) pada 12 Juli 1945. Ia manusia banyak hal : sastrawan, dosen, novelis, penulis, pelukis, penyanyi, aktor dan wartawan. Saya ingat pernah menulis bahwa mungkin hanya menari yang tidak dilakoni. Itu juga dikoreksi Remy : ia bisa menari.

Di Wikipedia karirnya dicatat berlangsung lebih dari lima dekade, sebagai aktor yang muncul di belasan film layar lebar dan merupakan salah satu aktor paling disegani di generasinya. Ia juga seorang penulis aktif yang beberapa karyanya telah diadaptasi ke layar lebar. Salah satu film populer yang pernah dibuat berdasarkan tulisannya adalah Ca-bau-kan (2002) dari novel berjudul sama Ca-bau-kan: Hanya Sebuah Dosa (1999).

Penampilannya dalam drama romantis dalam film Tinggal Sesaat Lagi (1986), drama keluarga Akibat Kanker Payudara (1987) dan drama keluarga 2 dari 3 Laki-Laki (1989) mendapatkan apresiasi dan pujian yang kesemuanya itu membuatnya mendapatkan nominasi untuk Piala Citra di Festival Film Indonesia, ketiganya sebagai Aktor Pendukung Terbaik. Di dunia jurnalistik Remy memulai karier sebagai wartawan majalah Tempo (Semarang, 1965), redaktur majalah Aktuil (sejak 1970). Satu kali ia menunjukkan kartu anggota PWI nya yang sudah lusuh atau usang, sudah lama habis masa berlakunya. Ia berharap bisa dihidupkan lagi. Saya sanggupi. Lalu dia minta saya mengutarakan alasannya. Saya sampaikan alasannya.

"Karena seluruh Indonesia tahu Anda memang jurnalis. Anda terus berkarya secara riil sebagai wartawan hingga kini. Asal tahu saja, masyarakat hanya memberi pengakuan pada karya jurnalistik, bukan pada orang yang mengantongi kartu anggota organisasi wartawan," saya jelaskan begitu dan Remy merespons memberi hormat. Kami pun terlibat diskusi mengenai fenomena banyak kartu anggota organisasi wartawan yang dikantongi orang yang tidak berhak.Bahkan juga beberapa pengurus organisasinya.

Berkunjung ke kantor PWI