“Lembaga semacam UP4B sebelumnya tidak cukup sensitif terhadap akar masalah yang sedang melanda Papua. Seperti halnya UP4B, Badan Pengarah Papua juga begitu miskin dalam merespons situasi konfliktual yang saat ini sedang terjadi. Belum lagi, kebijakan otonomi khusus sebagai legal transitional justice (kebijakan transisional) dalam rangka memproteksi dan mengafirmasi Orang Asli Papua serta seluruh kepentingan di dalamnya terkesan kehilangan arah, sebab tidak menyediakan ruang transisi yang memadai bagi percepatan pembangunan itu sendiri,” tutut Yorrys dalam keterangannya, Rabu (2/11/2022).
Ketua Komite II DPD RI itu menyatakan bahwa tidak ada satu nomenklatur aturan pun yang mengarahkan kerja-kerja Badan Pengarah Papua ini untuk melibatkan wakil rakyat di tingkat pusat maupun daerah, baik itu DPR, DPRP, DPRK dan DPRP serta DPD yang justru lebih mampu memberi masukan sosiologis dan politis.
Bagi Yorrys, persoalan Papua dewasa ini tidak sekedar berkutat pada persoalan pembangunan infrastruktur fisik, pemerimntahan dan keuangan, tapi juga kesiapan kultural yang justru senantiasa menjadi hambatan-hambatan psikologis dalam merespons berbagai persoalan.
“Elemen-elemen masyarakat yang selama ini bersuara banyak tentang persoalan Papua tidak dilibatkan secara aktif. Padahal pemerintah memerlukan strategi bottom up dalam menggali informasi tentang bagaimana masyarakat merespons percepatan pembangunan yang mereka rasakan," tegas Yorrys.
Anggota DPD RI Dapil Papua itu mencontohkan pembangunan jalan trans papua yang menjadi sorotan publik.
Triliunan rupiah yang digelontorkan untuk pembangunan jalan dan pembukaan isolasi yang bertujuan baik, justru dipandang sebagai ancaman dan terkesan sebagai proyek yang tidak sepenuhnya menyelesaikan persoalan.
Sementara di sisi lain, masyarakat Papua terus mempersoalkan kekerasan demi kekerasan serta pelanggaran hak asasi manusia yang masih saja terjadi.