Belakangan setelah Garuda mengubah jam penerbangan dari semula jam 9 malam menjadi jam 2 dini hari yang amat tanggung, membuat saya mencari penerbangan dengan jam keberangkatan lebih awal. Terakhir saya menumpang Singapore Airlines, bulan Mei lalu. Juga tidak mengalami pemeriksaan serupa Qantas saat ini.
Di tengah persaingan ketat maskapai penerbangan yang semakin mengandalkan efisiensi waktu demi meningkatkan kenyamanan di berbagai bandara internasional, cara Qantas itu jelas sangat kuno. Jadul, istilah generaai milenial. Kontras dengan pemeriksaan penumpang di Bandara John F Kennedy di New York yang saya alami tahun lalu. Imigrasi dan pemeriksaan barang bawaan bagasi disatukan. Supir taksi saja bisa sesumbar begini. " Tidak bawa senjata dan narkoba, you bisa melenggang nyaman. Sesimpel itu," katanya.
"Ya pak itu permintaan Australia. Kalau tidak, pengalaman saya kena denda yang besar, " kata Budi Karya Sumadi ketika saya sudah tiba di Melbourne, Senin (2/9/24) pagi.
Pernyataan itu merespons ucapan terima kasih saya atas perhatian besar Menteri Perhubungan menanggapi keluhan kami. Belakangan, saya sebut di awal belum 24 jam, setelah menyimak laporan lengkap dalam tulisan saya, Menteri Budi Karya Sumadi tergugah. Maka, hari ini diputuskanlah untuk menyurati Dubes Australia, dan Qantas dengan tembusan kepada Menteri Luar Negeri. Semoga terjadi perubahan. Ini bukan hanya soal penumpang, tetapi juga soal citra Bandara Soekarno Hatta, dan terutama citra Indonesia, negeri tercinta. (*)