"Tidak cukup pak dengan pemeriksaan metal detector. Masih saja ada yang bisa lolos," kata petugas. Petugas itu seperti tidak sadar pernyataannya berpotensu melecehkan kemampuan profesional petugas pemeriksa yang dilengkapi peralatan canggih.
"Barang apa sih yang lolos? "tanya saya lagi, penasaran. Petugas tidak menyahut, tangannya tetap sibuk merogoh-rogoh isi koper kecil.
Sebenarnya pemeriksaan sebelum naik pesawat seperti itu lazim kita alami di bandara Changi, Singapore. Dan, beberapa bandara internasional lainnya. Tetapi pemeriksaan tetap menggunakan metal detector.
"Lebih akurat cara manual," tukas petugas itu lagi.
Apa yang sebenarnya mau digeledah petugas belum begitu jelas hingga mereka menyilahkan kami memasuki pesawat. Apapun, jelas pemeriksaan itu telah menimbulkan ketidaknyamanan dan ketegangan bagi penumpang. Malah menimbulkan kecemasan baru. Apakah ada ancaman terorisme ? Entahlah.
Setelah duduk di kursi di dalam kabin pesawat, saya mencoba menghubungi Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi yang saya kenal baik, via japri di WA. Saya ceritakan pengalaman tadi. Dalam waktu relatif singkat beliau merespons cepat malam itu. Beliau kirim emoji "Siyaap". Lalu, " Saya belum tahu. Nanti saya cek," kata menteri.
Pesawat Qantas take off tepat waktu. Masih melekat dalam benak gangguan pemeriksaan manual tadi. Pemeriksaannya terkesan tidak bersungguh-sungguh. Dalam bahasa medsos, seakan hanya mau "ngeprank". Meja tempat pemeriksaan jauh dari standar, seperti meja yang diadakan secara mendadak.