Dalam tradisi lisan di Jawa Tengah, Ki Ageng Selo dikenal sebagai tokoh sakti, bisa menangkap petir.
Diceritakan, suatu hari Ki Ageng Selo sedang mencangkul di sawah. Langit mendung lalu turun hujan dan tiba-tiba petir menyambarnya. Namun, dengan kesaktiannya, dia berhasil menangkap petir itu. Petir tersebut berwujud naga. Ki Ageng Selo mengikatnya ke sebuah pohon Gandrik.
Ketika dibawa kepada Sultan Demak, naga tersebut berubah menjadi seorang kakek. Kakek itu kemudian dikerangkeng oleh Sultan dan menjadi tontonan di alun-alun. Kemudian datanglah seorang nenek mendekat, lalu menyiram air dari sebuah kendhi ke arah kakek tersebut. Tiba-tiba, terdengar suara petir menggelegar dan kakek nenek tersebut menghilang.
Kisah Ki Ageng Selo menangkap petir diabadikan dalam ukiran pada Lawang Bledheg atau pintu petir di Masjid Agung Demak. Ukiran pada daun pintu itu memperlihatkan motif tumbuh-tumbuhan, suluran (lung), jambangan, mahkota mirip stupa, tumpal, camara, dan dua kepala naga yang menyemburkan api.
Joko Tingkir kemudian berguru pula pada Ki Ageng Banyubiru atau Ki Kebo Kanigoro (kakak mendiang ayahnya). Di sini Joko Tingkir mengenal Mas Manca, Mas Wila, dan Ki Wuragil yang kelak disebut-sebut menemaninya menuju Ibu Kota Demak.Mitos tak dapat lepas jika membahas kehebatan Joko Tingkir. Ada banyak mitos tentangnya yang dikisahkan secara tutur turun temurun di masyarakat.