Mengejar Implementasi Transisi Energi dengan Optimalisasi Geothermal

PLTP di Islandia reuters (Foto : )

menggunakan uap air hasil kondensasi dari turbin dengan panas dan tekanan tertentu yang masih dapat membangkitkan tenaga listrik.Sentot berharap, pada akhir tahun ini atau awal depan prototipe teknologi ini sudah dapat beroperasi.

Peran Pemerintah

Meski demikian, peran pemerintah tetap diharapkan untuk optimalisasi energi geothermal. Ini karena energi dari perut bumi itu dinilai lebih mahal dibanding energi fosil, meski mahal itu dianggap relatif."Contoh batubara, harganya sekarang baru mencerminkan 60 persen. Padahal belum dihitung dampaknya terhadap lingkungan. Kalau dihitung, bisa di atas panas bumi," paparnya.Yang jelas, kata Sentot, keberadaan pembangkit listrik tenaga panas bumi memberikan dampak berganda terhadap pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat setempat.Sebelumnya, Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM RI, Eko Budi Lelono menegaskan komitmen pemerintah untuk terus meningkatkan penggunaan energi geothermal. Eko mengatakan, pemerintah berupaya mempercepat pengembangan energi panas bumi lewat berbagai kebijakan dan skema insentif bea masuk. Mengenai pengaturan tarif harga listrik dari geothermal juga masih dikaji pemerintah agar dapat lebih menarik bagi investor. Tentunya ini seiring upaya pemerintah dalam upaya mengurangi subsidi listrik. Bahkan, kata Eko,  pemerintah melalui Kementerian ESDM juga melakukan eksplorasi sendiri karena risiko eksplorasi dapat mencapai 90 persen.
[caption id="attachment_495974" align="alignnone" width="900"] Anjungan minyak lepas pantai (Foto: SKK Migas)[/caption]

Transisi Energi

Sekjen Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal menyebut, ada dua sumber energi yang dapat dijadikan pilihan menjanjikan dalam masa transisi menuju energi baru dan terbarukan di Indonesia.Pilihan pertama adalah sumber energi dari gas alam yang sumbernya banyak tersedia di Indonesia.
"Di Indonesia banyak sekali penemuan gas. Ini dapat jadi energi transisi menuju renewable energy," kata Moshe.
 "Soal gas, potensinya sangat besar dan jauh lebih bersih dari batubara dan minyak. Ini harus kita push karena resource-nya ada, tidak perlu impor. Ini dapat dimanfaatkan untuk konsumsi dalam negeri," papar Moshe.
Sebagai negara kepulauan, kata Moshe, Indonesia cocok menggunakan gas sebagai energi transisi karena dapat dikirim dengan menggunakan kapal.Namun yang jadi masalah, untuk mengkonversi pembangkit listrik tenaga batubara menjadi  bahan bakar gas butuh biaya tak sedikit. Apalagi diperlukan terminal-terminal untuk penyimpanan gas dari daerah lain.Selain gas, sumber energi lain yang dapat jadi pilihan saat masa transisi adalah energi nuklir.Menurut Moshe, tenaga nuklir cukup aman jika dibandingkan dengan minyak. Polusinya juga jauh lebih kecil dan sangat bersih.Dikatakan, tenaga nuklir cocok dibangun di Kalimantan yang jarang terjadi gempa bumi. Tenaga nuklir juga dinilai bagus untuk memasok kebutuhan energi ibu kota baru.Moshe menegaskan Indonesia sudah memiliki kemampuan untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Bahkan kemampuan sumber daya manusia (SDM) di negeri ini sudah lebih maju dibandingkan negara ASEAN lainnya.Soal penolakan sebagian kalangan tentang wacana pembangunan PLTN, Moshe menyebutnya seperti persepsi naik pesawat terbang."Penolakan itu terkait persepsi. Sama saja kayak naik pesawat. Naik pesawat lebih berbahaya dari mobil. padahal dari rate kecelakaan di mobil jauh lebih tinggi dari pasawat," katanya.Padahal jika radioaktif dari tenaga nuklir ditangani secara seksama dan sesuai aturan, seharusnya tidak ada masalah.Ia juga membandingkan dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang merupakan energi terbarukan dan ramah lingkungan.Menurutnya, PLTS menggunakan baterai sebagai media penyimpan energi. Padahal baterai memiliki masa usia pakai yang harus diganti secara berkala.Baterai bekas inilah yang akan menimbulkan masalah baru karena merupakan limbah beracun yang juga harus ditangani secara hati-hati.