Mengejar Implementasi Transisi Energi dengan Optimalisasi Geothermal

PLTP di Islandia reuters (Foto : )

Transisi energi dari energi fosil ke energi ramah lingkungan sudah jadi komitmen pemerintah. Pertamina pun mengebut untuk  mengimplementasikan transisi energi dengan mengoptimalkan energi baru dan terbarukan, termasuk geothermal atau panas bumi. Besarnya potensi geothermal atau panas bumi di Indonesia merupakan berkah tersendiri.  Namun sayangnya pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) belum optimal. Manager Government Public Relations Pertamina Geothermal Energy (PGE), Sentot Yulianugroho mengatakan, pemanfaatan EBT di Indonesia masih berada di angka 11,2 persen. Menurutnya, dari potensi 23 gigawatt, baru termanfaatkan untuk energi listrik adalah sebesar 2.175 megawatt atau hanya 9,2 persen dari potensi yang ada di Indonesia. Meski belum termanfaatkan optimal, posisi Indonesia ternyata berada di urutan kedua dunia setelah Amerika Serikat. "Saat ini Indonesia di posisi kedua dunia dengan 2.175 megawatt, menggeser Filipina yang berkapasitas 1918 megawatt. Amerika Serikat di angka 3.714 megawatt," katanya dalam pelatihan media yang digelar Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas), Minggu (26/9/2021).

Islandia Sukses Konversi Energi

Sentot mencontohkan Islandia yang pada tahun 1970an masih mengandalkan energi fosil. Namun saat mengalami resesi energi, negara itu mengkonversi sumber energi ke hidro dan geothermal. Sekarang hampir 100 persen sumber energi Islandia bersumber dari EBT yang sangat ramah lingkungan. Sementara air panas dari pengolahan energi geothermal juga digunakan untuk spa. Bahkan lumpur dari panas bumi mengandung mineral yang baik untuk kulit. Sedangkan green methanol dari proses pengolahan geothermal diekspor ke negara lain. [caption id="attachment_495951" align="alignnone" width="900"] Pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) di Islandia (Foto: Reuters)[/caption] Pertamina sendiri, kata Sentot, sejak tahun 1974 mendapat kuasa eksplorasi dan eksploitasi geothermal. PGE yang merupakan salah satu anak usaha Pertamina, saat ini mengelola 15 wilayah kerja dengan kapasitas 1.877 megawatt. Dari angka tersebut, yang dioperasikan sendiri sebesar 672 megawatt dan sisanya merupakan kontrak operasi bersama. Disebutkan, 88 persen dari kapasitas terpasang geothermal di Indonesia berada di wilayah kerja PGE. [caption id="attachment_495997" align="alignnone" width="900"] Grafik: PGE[/caption] Menurut Sentot, kapasitas produksi geothermal dapat terus bertambah, berbeda dengan produksi minyak dan gas yang terus menurun dari tahun ke tahun. "Mengapa kapasitas terus bertambah, karena beberapa wilayah belum dieksplorasi dan tipikalnya butuh waktu lama 8-10 tahun. Produksi dapat berlangsung selama 30 tahun," katanya. [caption id="attachment_495739" align="alignnone" width="900"] PLTP Karaha milik Pertamina (Foto: PGE.Pertamina.com)[/caption]

Transisi Energi tak Cepat

Namun transisi dari energi fosil ke EBT belum secepat seperti yang diharapkan pemerintah. Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pada 2017,  pasokan listrik dari geothermal pada 2025 sudah harus berada di angka 7.241 megawatt dan 2030 sebesar 9.300 megawatt. Bandingkan dengan kondisi saat ini yang masih berada di angka 2.000an megawatt. Guna menekan kesenjangan itu, kata Sentot, PGE akan mengoptimalkan potensi geothermal dengan pemanfaatan brine atau cairan panas bumi dari. Brine memiliki suhu 148-173 derajat Celsius yang masih berpotensi untuk pembangkitan listrik. Sentot mengatakan, potensi yang dapat dihasilkan dari brine mencapai 200 megawatt. Dari proses produksi geothermal juga dapat dihasilkan hidrogen yang bisa dijual untuk kebutuhan industri, pabrik kimia atau sebagai bahan baku pembuatan green methanol. [caption id="attachment_495998" align="alignnone" width="900"] Grafik: PGE[/caption] Namun Sentot mengakui, pemanfaatan tenaga panas bumi butuh waktu panjang. Namun seiring berkembangnya teknologi, beberapa tahapan yang memakan waktu lama kini sudah dapat dipangkas. Dicontohkan, PGE saat ini sedang menjajaki percepatan pemanfaatan listrik dengan menggunakan teknologi binary cycyle. Teknologi binary cycle menggunakan uap air hasil kondensasi dari turbin dengan panas dan tekanan tertentu yang masih dapat membangkitkan tenaga listrik. Sentot berharap, pada akhir tahun ini atau awal depan prototipe teknologi ini sudah dapat beroperasi.

Peran Pemerintah

Meski demikian, peran pemerintah tetap diharapkan untuk optimalisasi energi geothermal. Ini karena energi dari perut bumi itu dinilai lebih mahal dibanding energi fosil, meski mahal itu dianggap relatif. "Contoh batubara, harganya sekarang baru mencerminkan 60 persen. Padahal belum dihitung dampaknya terhadap lingkungan. Kalau dihitung, bisa di atas panas bumi," paparnya. Yang jelas, kata Sentot, keberadaan pembangkit listrik tenaga panas bumi memberikan dampak berganda terhadap pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat setempat. Sebelumnya, Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM RI, Eko Budi Lelono menegaskan komitmen pemerintah untuk terus meningkatkan penggunaan energi geothermal. Eko mengatakan, pemerintah berupaya mempercepat pengembangan energi panas bumi lewat berbagai kebijakan dan skema insentif bea masuk. Mengenai pengaturan tarif harga listrik dari geothermal juga masih dikaji pemerintah agar dapat lebih menarik bagi investor. Tentunya ini seiring upaya pemerintah dalam upaya mengurangi subsidi listrik. Bahkan, kata Eko,  pemerintah melalui Kementerian ESDM juga melakukan eksplorasi sendiri karena risiko eksplorasi dapat mencapai 90 persen.
[caption id="attachment_495974" align="alignnone" width="900"] Anjungan minyak lepas pantai (Foto: SKK Migas)[/caption]

Transisi Energi

Sekjen Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal menyebut, ada dua sumber energi yang dapat dijadikan pilihan menjanjikan dalam masa transisi menuju energi baru dan terbarukan di Indonesia. Pilihan pertama adalah sumber energi dari gas alam yang sumbernya banyak tersedia di Indonesia.
"Di Indonesia banyak sekali penemuan gas. Ini dapat jadi energi transisi menuju renewable energy," kata Moshe.
 "Soal gas, potensinya sangat besar dan jauh lebih bersih dari batubara dan minyak. Ini harus kita push karena resource-nya ada, tidak perlu impor. Ini dapat dimanfaatkan untuk konsumsi dalam negeri," papar Moshe.
Sebagai negara kepulauan, kata Moshe, Indonesia cocok menggunakan gas sebagai energi transisi karena dapat dikirim dengan menggunakan kapal. Namun yang jadi masalah, untuk mengkonversi pembangkit listrik tenaga batubara menjadi  bahan bakar gas butuh biaya tak sedikit. Apalagi diperlukan terminal-terminal untuk penyimpanan gas dari daerah lain. Selain gas, sumber energi lain yang dapat jadi pilihan saat masa transisi adalah energi nuklir. Menurut Moshe, tenaga nuklir cukup aman jika dibandingkan dengan minyak. Polusinya juga jauh lebih kecil dan sangat bersih. Dikatakan, tenaga nuklir cocok dibangun di Kalimantan yang jarang terjadi gempa bumi. Tenaga nuklir juga dinilai bagus untuk memasok kebutuhan energi ibu kota baru. Moshe menegaskan Indonesia sudah memiliki kemampuan untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Bahkan kemampuan sumber daya manusia (SDM) di negeri ini sudah lebih maju dibandingkan negara ASEAN lainnya. Soal penolakan sebagian kalangan tentang wacana pembangunan PLTN, Moshe menyebutnya seperti persepsi naik pesawat terbang. "Penolakan itu terkait persepsi. Sama saja kayak naik pesawat. Naik pesawat lebih berbahaya dari mobil. padahal dari rate kecelakaan di mobil jauh lebih tinggi dari pasawat," katanya. Padahal jika radioaktif dari tenaga nuklir ditangani secara seksama dan sesuai aturan, seharusnya tidak ada masalah. Ia juga membandingkan dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang merupakan energi terbarukan dan ramah lingkungan. Menurutnya, PLTS menggunakan baterai sebagai media penyimpan energi. Padahal baterai memiliki masa usia pakai yang harus diganti secara berkala. Baterai bekas inilah yang akan menimbulkan masalah baru karena merupakan limbah beracun yang juga harus ditangani secara hati-hati.