antvklik – Sedemikian wingitnya Mak Lampir. Menakutkan dan mengerikan. Alam semesta dibuatnya menggigil. Manusia pun merasakannya. Ketakukan mendera kala malam tiba. Apalagi kala terdengar tawa terkekeh perempuan renta. Adalah Siti Meamunah begitulah nama muda sebenarnya. Cantik mempesona kala muda.
Membuat jantung semua pria berdegub galau. Banyak yang jatuh hati pun banyak yang patah hati. Sejarahnya terhijab misteri. Hanya terkuak dialah putri kerajaan kuno Champa. Putri Negeri Champa? Ya. Siti Maemunah adalah keturunan bangsawan negeri Champa yang turun-temurun, kawin-mawin dan hidup di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Masyarakat Champa (dikenal sebagai Urang Champa) adalah masyarakat yang mata pencahariannya berdagang. Berdasar penelitian, asal-usul masyarakat ini adalah Melayu-Polinesia yang menguasai nusantara pada abad sebelum masehi. Pada abad ke-13 masyarakat ini menganut agama Islam.
Ciri dari Urang Champa adalah menganut budaya Matrilineal. Inilah yang mereka bangun kembali di Sumatera Barat. Islami dan Materilineal. Penguasaan Champa atas wilayah pedalaman barat Sumatera mengambil kota Bukittinggi sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian. Buktinya, hingga kini Bukittinggi adalah pusat perekonomian terbesar kedua di Provinsi Sumatera Barat.
Bahkan, jika bukan adalah kota istimewa, tiada mungkin kota ini pernah menjadi ibu kota Indonesia pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Kota ini pada zaman kolonial Belanda disebut dengan Fort de Kock dan mendapat julukan sebagai Parijs van Sumatra. Siti Maemunah, mengapa berubah? Kembali ke Siti Maemunah. Baik namun sangat pemalu seperti wanita pada umumnya.
Kecantikannya kondang seantero Minangkabau. Sudah cukup umur untuk berkasih-kasihan. Saat bulan purnama penuh, ia pun jatuh cinta. Hatinya bagai diremas-remas kala teringat seorang pemuda cakap, bangsawan pula. Tiada yang tahu pasti siapa nama aseli bangsawan itu. Para hulubalang memanggilnya Datuk.
Datuk Panglima Kumbang. Pemimpin laskar kumbang. Laskar petarung pembela negeri. Sang Datuk diam-diam juga suka kepada Sang Putri. Namun kisah kasih mereka harus kandas. Tiada restu dari kedua orang tua Datuk Panglima Kumbang. Sang Putri sakit hati. Malu. Hingga memutuskan pergi bertapa ke Gunung Marapi.