Daerah Istimewa Surakarta adalah daerah otonomi khusus (bahasa waktu itu daerah istimewa) yang secara de facto pernah ada antara Agustus 1945 sampai Juli 1946.
Status otonomi khusus ini hanya ditetapkan dengan Piagam Penetapan Presiden tanggal 19 Agustus 1945 dan UU No 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. Belanda bersikukuh Indonesia belum merdeka saat 17 Agustus 1945.
Para veteran perang belanda sulit menerima hal ini. Belanda menganggap kemerdekaan Indonesia baru terjadi pada 27 Desember 1949, yaitu ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam.
Indonesia diwakili Muhammad Hatta dan pihak belanda oleh Ratu Juliana. Bung Hatta (kedua dari kiri) di Istana Dam, Amsterdam dan Ratu Juliana (kedua dari kanan) pada saat "penyerahan" kedaulatan. Mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja mengakui agresi militernya pada 1945-1949 adalah ilegal. Agresi Militer Belanda I dilakukan 21 Juli 1947. Belanda menolak hasil Perundingan Linggajati 25 Maret 1947.
Karena situasi keamanan Ibukota Jakarta yang makin memburuk, Soekarno dan Hatta pindah ke Yogyakarta sekaligus pula memindahkan Ibukota Republik Indonesia. Sedangkan Agresi Militer Belanda II dilakukan pada 19 Desember 1948, tepat pukul 06.00 wib.
Agresi kedua membuat Ibu Kota Indonesia pada saat itu, Yogyakarta jatuh. Pemimpin negeri ditangkapi, seperti Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, Syahrir (Penasihat Presiden), Menteri Luar Negeri Agus Salim dan beberapa menteri lain.
Serdadu Belanda menguasai Kota Jogjakarta, 19 Desember 1948. Belanda merasa di atas angin dan akan membentuk Pemerintah Federal. Presiden Soekarno cepat meminta Syarifudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Selanjutnya, Pada tanggal 19 Desember 1948 Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) beribu kota di Bukittinggi, Sumatera Barat.