Hal ini juga dikuatkan oleh tulisan seorang historiograf Belanda G.H. Von Faber, yang mana menurut pendapatnya, Surabya atau Hujunggaluh adalah nama sebuah desa yang berada pada muara sungai Kali Mas, yang di pimpin oleh seorang Rama (Kepala Desa).
Surabaya dalam dekade-dekade akhir masa pemerintahan kolonial Belanda, keberadaan kota Surabaya merupakan hasil dari suatu sejarah yang panjang dan kompleks.
Belanda yang mempertahankan kehadirannya sejak awal abad ketujuh belas, tidak melakukan pembedaan penetrasi di sana sampai pertengahan abad kesembilan belas.
Pada tahun 1835 kota ini menjadi pusat kedudukan utama pasukan Belanda, dengan menghancurkan kawasan lama dan memaksa penduduknya yang padat untuk melakukan pemukiman kembali.
Semua orang Jawa, Madura, Bugis, dan orang-orang Indonesia lainnya dipaksa pindah, sementara tempat-tempat di pusat kota di cadangkan bagi orang-Eropa Asia eropa, Cina serta beberapa orang Kristen Indonesia.
Dalam mengganti yang di sebut terdahulu, kota yang khas Asia Tenggara dengan bangunan kayu yang di dirikan berselang-seling pepohonan dan aliran sungai, muncul suatu struktur baru berupa jembatan-jembatan, kanal-kanal, jalan-jalan beraspal serta bangunan bertembok.
Di belakang kawasan yang sempit ini, orang-orang Indonesia Surabaya berusaha membangun kembali lingkungan asal mereka dan menyesuaikan diri dengan arus pendatang baru, terutama buruh kecil dari tempat-tempat yang jauh seperti Rembang, Kediri, dan Banyuwangi.