Sekelompok siswi sekolah Katolik melihat ponsel mereka saat mereka menunggu di rute yang akan dilalui Paus Fransiskus dekat Katedral St. Patrick di New York, 24 September 2015. (Foto: VOA Indonesia/Reuters)[/caption]"Menurut saya, Gereja Katolik bukanlah usaha kecil. Ini bukan bisnis kecil dan Gereja Katolik bukanlah kumpulan bisnis kecil. Masing-masing paroki, paroki lokal, bukanlah entitas yang berdiri sendiri," katanya.Sumber keuangan sejumlah keuskupan, yang dikelola para uskup dan kardinal, menyamai atau melampaui yang tersedia bagi bisnis publik, seperti Shake Shack dan Ruth's Chris Steakhouse. Kedua bisnis itu menuai kemarahan masyarakat musim semi tahun lalu karena sempat berpartisipasi dalam program tersebut. Pejabat federal menanggapi dengan menekankan bahwa bantuan itu untuk bisnis yang tidak mempunyai jaring pengaman keuangan. Banyak bisnis yang kemudian mengembalikan dana itu.Menurut Connell, gereja yang menerima bantuan miliaran dolar, seharusnya juga mengembalikan uang itu."Semua uang itu, dana PPP, seharusnya dikembalikan kepada pemerintah federal untuk digunakan oleh pemerintah federal yang kemudian memprosesnya kembali dan mengirimnya ke bisnis yang benar-benar kecil di seluruh negeri yang membutuhkan bantuan," katanya.Para pemimpin Katolik mengatakan uang itu dibutuhkan untuk membayar gaji para pegawai di paroki dan sekolah. Mereka mengatakan, tanpa bantuan itu, mereka harus membatasi misi amal mereka sementara permintaan akan layanan sosial justru meningkat.Menurut laporan keuangannya, Catholic Schools Foundation, di mana Kardinal Boston, Sean O'Malley, adalah ketua dewan, mempunyai dana lebih dari USD33 juta dalam bentuk tunai dan bentuk lain yang bisa "digunakan untuk operasi umum" pada awal tahun fiskal 2020."Walaupun ada sumber daya finansial itu dan sekitar USD35 juta (Rp489 miliar) uang bantuan PPP, termasuk hampir USD16 juta (Rp223 miliar) untuk sekolah, yang diterima Keuskupan Agung Boston, sekolah Santo Fransiskus Assisi dan beberapa sekolah lain di daerah tersebut masih tutup.Hingga kini, Michael dan Jeanine Waterman masih tidak bisa memahami mengapa keuskupan agung itu tidak bisa membantu menyelamatkan sekolah yang dicintai jemaatnya."Yang membuat kami marah adalah kami merasa, mengingat jumlah uang yang dimiliki Gereja Katolik, mereka seharusnya bisa tetap beroperasi. Mereka bisa saja mengatur anggaran," katanya.Sementara itu, sekolah Santo Fransiskus Asisi telah beroperasi kembali. Mereka pindah ke bangunan akademi swasta, menyewa gedung itu untuk pembelajaran langsung secara tatap muka.
VOA Indonesia
Baca Juga :