Banyak orang tua murid yang kesal, bahkan marah, ketika sekolah-sekolah Katolik tutup dengan alasan kesulitan keuangan. Padahal, Keuskupan Katolik menerima bantuan lebih dari $10 miliar (Rp140 triliun) dari pemerintah untuk mengatasi imbas pandemi virus corona, walaupun mempunyai dana cadangan dalam jumlah besar.
Sejak pandemi virus corona merebak dan sekolah mereka tutup pada Juni lalu, Allison, Ryan dan Mia Waterman bersekolah secara daring.
Baru-baru ini, sekolah tiga bersaudara itu, Santo Fransiskus Assisi di Braintree, Boston, Massachusetts, ditutup. Sekolah itu adalah satu dari enam sekolah Katolik yang ditutup Keuskupan Agung Boston setelah mengutip bantuan terkait pandemi.
Seperti diberitakan VOA Indonesia yang melansir
Associated Press, penutupan sekolah itu mengagetkan keluarga-keluarga yang anak-anaknya yang bersekolah di sana, seperti keluarga Waterman.
"Saya kecewa karena sekolah tidak bilang apa-apa. Mereka tidak memberi tahu orang tua bahwa sekolah sedang dalam kesulitan keuangan," kata Jeanine Waterman, ibu dari ketiga anak itu.
Ayah mereka, Michael Waterman mengungkapkan kekecewaan serupa.
"Saya masih berharap mereka di sekolah Katolik. Banyak hal yang tidak mereka lakukan. Dulu mereka bersekolah di tempat yang bagus," katanya.
Keluarga-keluarga juga terkejut mengetahui bahwa sekolah telah menerima USD210.000 (Rp2,9 miliar) uang bantuan darurat dari pemerintah federal, meskipun keuskupan Agung Boston memiliki dana cadangan sekitar USD200 juta (Rp2,8 triliun).
Menurut hasil penyelidikan kantor berita Associated Press, di seluruh Amerika, keuskupan Katolik yang menerima bantuan dari uang rakyat melalui Paycheck Protection Program (PPP) atau Program Perlindungan Gaji menerima lebih dari USD10 miliar (Rp140 triliun) dalam bentuk tunai, investasi jangka pendek atau dana lain untuk mengatasi imbas pandemi,
Meskipun ekonomi memburuk, aset-aset di banyak keuskupan itu berkembang.
Bahkan dengan kondisi finansial yang sangat kuat seperti itu, 112 keuskupan, yang mengungkap laporan keuangan mereka, serta laporan keuangan gereja dan sekolah yang mereka kelola, mereka menerima setidaknya USD1,5 miliar (Rp21 triliun) bantuan pemerintah. Mayoritas keuskupan ini melaporkan, bahkan tanpa bantuan, mereka mampu menutupi biaya operasional setidaknya sampai enam bulan.
Secara keseluruhan, hampir 200 keuskupan di Amerika dan lembaga-lembaga Katolik lain menerima setidaknya USD3 miliar (Rp42 triliun). Hal itu menjadikan Gereja Katolik Roma mungkin sebagai penerima terbesar program pelindungan gaji tersebut.
Romo James Connell, pakar hukum gereja di Keuskupan Agung Milwaukee dan mantan akuntan, mempertanyakan permintaan bantuan tersebut.
[caption id="attachment_437427" align="alignnone" width="600"] Sekelompok siswi sekolah Katolik melihat ponsel mereka saat mereka menunggu di rute yang akan dilalui Paus Fransiskus dekat Katedral St. Patrick di New York, 24 September 2015. (Foto: VOA Indonesia/Reuters)[/caption]
"Menurut saya, Gereja Katolik bukanlah usaha kecil. Ini bukan bisnis kecil dan Gereja Katolik bukanlah kumpulan bisnis kecil. Masing-masing paroki, paroki lokal, bukanlah entitas yang berdiri sendiri," katanya.
Sumber keuangan sejumlah keuskupan, yang dikelola para uskup dan kardinal, menyamai atau melampaui yang tersedia bagi bisnis publik, seperti Shake Shack dan Ruth's Chris Steakhouse. Kedua bisnis itu menuai kemarahan masyarakat musim semi tahun lalu karena sempat berpartisipasi dalam program tersebut. Pejabat federal menanggapi dengan menekankan bahwa bantuan itu untuk bisnis yang tidak mempunyai jaring pengaman keuangan. Banyak bisnis yang kemudian mengembalikan dana itu.
Menurut Connell, gereja yang menerima bantuan miliaran dolar, seharusnya juga mengembalikan uang itu.
"Semua uang itu, dana PPP, seharusnya dikembalikan kepada pemerintah federal untuk digunakan oleh pemerintah federal yang kemudian memprosesnya kembali dan mengirimnya ke bisnis yang benar-benar kecil di seluruh negeri yang membutuhkan bantuan," katanya.
Para pemimpin Katolik mengatakan uang itu dibutuhkan untuk membayar gaji para pegawai di paroki dan sekolah. Mereka mengatakan, tanpa bantuan itu, mereka harus membatasi misi amal mereka sementara permintaan akan layanan sosial justru meningkat.
Menurut laporan keuangannya, Catholic Schools Foundation, di mana Kardinal Boston, Sean O'Malley, adalah ketua dewan, mempunyai dana lebih dari USD33 juta dalam bentuk tunai dan bentuk lain yang bisa "digunakan untuk operasi umum" pada awal tahun fiskal 2020."
Walaupun ada sumber daya finansial itu dan sekitar USD35 juta (Rp489 miliar) uang bantuan PPP, termasuk hampir USD16 juta (Rp223 miliar) untuk sekolah, yang diterima Keuskupan Agung Boston, sekolah Santo Fransiskus Assisi dan beberapa sekolah lain di daerah tersebut masih tutup.
Hingga kini, Michael dan Jeanine Waterman masih tidak bisa memahami mengapa keuskupan agung itu tidak bisa membantu menyelamatkan sekolah yang dicintai jemaatnya.
"Yang membuat kami marah adalah kami merasa, mengingat jumlah uang yang dimiliki Gereja Katolik, mereka seharusnya bisa tetap beroperasi. Mereka bisa saja mengatur anggaran," katanya.
Sementara itu, sekolah Santo Fransiskus Asisi telah beroperasi kembali. Mereka pindah ke bangunan akademi swasta, menyewa gedung itu untuk pembelajaran langsung secara tatap muka.
VOA Indonesia
Baca Juga :