Komnas Perempuan: Kekerasan Berbasis Gender Naik 63 Persen Selama Pandemi

komnas perempuan foto komnasperempuan.go.id
komnas perempuan foto komnasperempuan.go.id (Foto : )
Dia menjelaskan bahwa Indonesia adalah salah satu negara penyumbang terbesar dari sekitar 13 juta kasus global perkawinan anak di bawah umur pada tahun 2020.Dikatakannya, kekerasan gender di Indonesia tidak hanya tentang kekerasan seksual terhadap perempuan, tetapi juga mencakup empat aspek penting lainnya.Seperti perkawinan anak di bawah umur, perempuan hidup dalam kemiskinan ekstrem, perempuan sebagai korban kekerasan oleh pasangannya dan mutilasi alat kelamin perempuan.“Empat hal ini ada di Indonesia dan empat hal ini sangat lekat dengan tradisi-tradisi maupun kebiasaan yang dipegang erat, dipertahankan dan dijalankan di masyarakat kita dengan berbagai alasan norma-norma,” katanya.Dari semua temuan ini, Misiyah berharap ada sinergi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah untuk memastikan kualitas pelayanan terhadap korban kekerasan. Ini karena problem kekerasan berbasis gender bersifat multi-dimensi.Temuan lain soal kekerasan berbasis gender ini juga disampaikan oleh Sekretaris Jenderal UCLG ASPAC, Bernadia Irawati Tjandradewi.Menurutnya, dalam temuan UCLG di Asia Pasifik, angka kekerasan berbasis gender juga meningkat di beberapa tempat.“Kekerasan meningkat 300 persen di beberapa tempat. Ini memang merupakan hal yang sangat serius. Pandemi telah membuat orang harus bertahan di rumah, tidak hanya
physical distancing." "Pemberlakukan PSBB juga membatasi ruang gerak hingga perempuan dan anak sangat rentan dalam kekerasan yang terjadi di ranah privat yang cenderung dipicu persoalan ekonomi,” papar Bernadia.

Peran Pemerintah Daerah

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan Provinsi Jawa Timur, Andriyanto menambahkan,  peran pemerintah daerah dalam penanganan tidak dapat berdiri sendiri.Menurutnya, penanganan kekerasan berbasis gender harus dilakukan dengan melibatkan banyak pihak.“Pandemi Covid-19 ini adalah musibah, tapi juga dapat dilihat sebagai momentum untuk bekerja sama. Dan kekerasan perempuan dan anak memang seperti fenomena gunung es."Menurut Andriyanto, jika kekerasan tidak mampu dicegah dan ditangani, maka dampak sosial lainnya ikut menjadi tidak terelakkan. Dia mengatakan bahwa walaupun angka pernikahan pada tahun 2020 menurun di Jawa Timur, kasus pernikahan anak tetap terjadi peningkatan.“Persoalan ekonomi yang terjadi di dalam keluarga pada masa pandemi ini sangat meningkat tajam dan menjadi salah satu penyebab tingginya kasus perceraian. Jika tahun lalu angka perceraian hanya sekitar 8.303 kasus, tahun ini sampai dengan September 2020, angka perceraian meningkat tajam menjadi 55.747 kasus,” jelasnya.Peran serta pemerintah dan masyarakat untuk bekerja sama dalam penanganan dan pencegahan sangat dibutuhkan dalam penyelesaian masalah.Andriyanto mencontohkan, di Jawa Timur, persoalan kekerasan perempuan dan anak tertangani 100 persen. Tetapi hanya sekitar 19,6 persen yang dapat diselesaikan akibat kendala yang terjadi di lapangan. (*)