Komnas Perempuan mencatat kekerasan berbasis gender meningkat 63 persen selama masa pandemi Covid-19. Dampak nyata dari peningkatan kekerasan ini adalah meningkatnya angka perceraian dan pernikahan anak.
Adanya
physical distancing dalam Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ditengarai berperan dalam peningkatan angka kekerasan berbasis gender.
Ini terutama karena waktu perempuan Indonesia yang lebih banyak dihabiskan di rumah
“Dari kajian yang kami lakukan, perempuan di Indonesia menghabiskan waktu lebih dari tiga jam untuk melakukan tugas rumah tangga, dimana hal itu sama dengan empat kali lebih banyak dibandingkan laki-laki.
"Dan ketika perempuan dianggap tidak mampu memenuhi tugasnya dengan baik, mereka menjadi lebih rentan dan menjadi target tindak kekerasan,” jelas Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah dalam sebuah diskusi daring.
Menurut Alimatul, sampai dengan Oktober 2020, Komnas Perempuan telah menerima sebanyak 1.617 laporan.
Ini terdiri dari 1.458 kasus kekerasan berbasis gender dan 159 non-kekerasan berbasis gender. Kekerasan yang dilaporkan terjadi di ranah personal sebanyak 960 kasus, komunitas 480 kasus dan negara 18 kasus.
Dunia Maya
Bentuk kekerasan tertinggi merupakan kekerasan psikis dengan jumlah 964 kasus dan kekerasan seksual sejumlah 888 kasus yang terjadi di rumah tangga atau KDRT, maupun di komunitas.
Salah satu modus kekerasan yang paling banyak juga dilakukan adalah melalui dunia maya.
“Hal yang perlu mendapat perhatian adalah kekerasan gender berbasis siber yang didominasi dengan kekerasan seksual. Dari laporan yang kami terima, modus kekerasan ini berbentuk penyebaran foto atau video korban yang tidak pantas dengan motif balas dendam. Kasus yang dilaporkan per Oktober ini ada 659 kasus, sementara tahun lalu laporannya hanya 281 kasus,” ujarnya.
Menurutnya, tingkat angka kekerasan yang terjadi di masa pandemi ini dapat digunakan sebagai momentum penting untuk mendorong agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) segera disahkan untuk mengakomodir keberadaan payung hukum.
Temuan Komnas Perempuan juga menunjukkan, sebanyak 80,3 persen korban enggan melaporkan kasus yang mereka alami ke layanan pengaduan, dan sekitar 68,8 persen tidak memiliki atau menyimpan nomor pengaduan.
Alimatul sangat berharap, layanan digital terkait kekerasan berbasis gender dapat ditingkatkan di masa pandemi COVID-19 ini.
“Kekerasan berbasis gender merupakan masalah krusial yang terjadi pada saat pandemi ini. Dan kita masih ada di tahap penyadaran, kekerasan berbasis gender belum dianggap sebagai problem. Belum dianggap oleh Satuan Tugas pandemi sebagai masalah yang krusial di masa pandemi ini,” tambah Misiyah, Direktur Institut Kapal Perempuan pada forum yang sama.
Perkawinan di Bawah Umur
Dia menjelaskan bahwa Indonesia adalah salah satu negara penyumbang terbesar dari sekitar 13 juta kasus global perkawinan anak di bawah umur pada tahun 2020.
Dikatakannya, kekerasan gender di Indonesia tidak hanya tentang kekerasan seksual terhadap perempuan, tetapi juga mencakup empat aspek penting lainnya.
Seperti perkawinan anak di bawah umur, perempuan hidup dalam kemiskinan ekstrem, perempuan sebagai korban kekerasan oleh pasangannya dan mutilasi alat kelamin perempuan.
“Empat hal ini ada di Indonesia dan empat hal ini sangat lekat dengan tradisi-tradisi maupun kebiasaan yang dipegang erat, dipertahankan dan dijalankan di masyarakat kita dengan berbagai alasan norma-norma,” katanya.
Dari semua temuan ini, Misiyah berharap ada sinergi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah untuk memastikan kualitas pelayanan terhadap korban kekerasan. Ini karena problem kekerasan berbasis gender bersifat multi-dimensi.
Temuan lain soal kekerasan berbasis gender ini juga disampaikan oleh Sekretaris Jenderal UCLG ASPAC, Bernadia Irawati Tjandradewi.
Menurutnya, dalam temuan UCLG di Asia Pasifik, angka kekerasan berbasis gender juga meningkat di beberapa tempat.
“Kekerasan meningkat 300 persen di beberapa tempat. Ini memang merupakan hal yang sangat serius. Pandemi telah membuat orang harus bertahan di rumah, tidak hanya
physical distancing."
"Pemberlakukan PSBB juga membatasi ruang gerak hingga perempuan dan anak sangat rentan dalam kekerasan yang terjadi di ranah privat yang cenderung dipicu persoalan ekonomi,” papar Bernadia.
Peran Pemerintah Daerah
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan Provinsi Jawa Timur, Andriyanto menambahkan, peran pemerintah daerah dalam penanganan tidak dapat berdiri sendiri.
Menurutnya, penanganan kekerasan berbasis gender harus dilakukan dengan melibatkan banyak pihak.
“Pandemi Covid-19 ini adalah musibah, tapi juga dapat dilihat sebagai momentum untuk bekerja sama. Dan kekerasan perempuan dan anak memang seperti fenomena gunung es."
Menurut Andriyanto, jika kekerasan tidak mampu dicegah dan ditangani, maka dampak sosial lainnya ikut menjadi tidak terelakkan. Dia mengatakan bahwa walaupun angka pernikahan pada tahun 2020 menurun di Jawa Timur, kasus pernikahan anak tetap terjadi peningkatan.
“Persoalan ekonomi yang terjadi di dalam keluarga pada masa pandemi ini sangat meningkat tajam dan menjadi salah satu penyebab tingginya kasus perceraian. Jika tahun lalu angka perceraian hanya sekitar 8.303 kasus, tahun ini sampai dengan September 2020, angka perceraian meningkat tajam menjadi 55.747 kasus,” jelasnya.
Peran serta pemerintah dan masyarakat untuk bekerja sama dalam penanganan dan pencegahan sangat dibutuhkan dalam penyelesaian masalah.
Andriyanto mencontohkan, di Jawa Timur, persoalan kekerasan perempuan dan anak tertangani 100 persen. Tetapi hanya sekitar 19,6 persen yang dapat diselesaikan akibat kendala yang terjadi di lapangan. (*)