Mas, semua ini adalah providentia Dei. Penyelenggaraan Allah. Bahkan Kompas bisa menjadi seperti sekarang ini, harus kita syukuri.
Saya seorang wartawan, bukan pengusaha. Saya pernah menjadi guru, dan sampai sekarang tetap seorang guru. Mas tahu kan, dalam providentia Dei ada pemeliharaan, ada perlindungan, ada penyertaan, dan jangan lupa ada campur tangan. Ya, campur tangan Tuhan. Itulah providentia Dei. Dan, Kompas bisa menjadi seperti sekarang ini karena providentia Dei.
Kalimat-kalimat itu seperti berdengung kembali di telinga, begitu mendengar berita Rabu siang, bahwa Pak Jakob Oetama, telah dipanggil Tuhan. Selesai sudah perziarahan Pak Jakob di dunia ini. Tetapi, warisan yang ditinggalkan tak akan pernah hilang ditelan waktu.
Dalam berbagai kesempatan, entah itu rapat redaksi pagi hari atau pertemuan-pertemuan lainnya, Pak Jakob selalu mengingatkan kami semua agar selalu bersyukur atas providentia Dei itu. Dalam pemahaman Pak Jakob, providentia Dei itu mencakup banyak hal, bahkan segala sesuatu. Baik itu peristiwa yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, peristiwa baik maupun buruk. Sebab, peristiwa tidak menyenangkan, peristiwa buruk dalam providentia Dei akan mendatangkan kebaikan, juga memberikan pelajaran yang sangat berarti.
Itu juga berarti bahwa cakupan providentia Dei itu bukan hanya dalam kecukupan materi melainkan juga dalam kekurangan materi, bukan hanya dalam kondisi sehat melainkan juga dalam kondisi sakit. Kelahiran Kompas pun adalah providential Dei.
Suatu ketika, Pak Jakob mengatakan, siapa yang pernah menduga bahwa koran yang didirikan pada tahun 1965 menjadi seperti sekarang ini. Dalam keyakinan Pak Jakob, Kompas dihadirkan dalam providentia Dei sebagai sarana perjuangan; perjuangan menegakkan kehidupan yang demokratis, sekaligus menjadi “rumah” kehidupan bagi jutaan orang. Kompas lahir untuk membangun sebuah Indonesia, Indonesia yang toleran, Indonesia yang bangsanya menyadari, memahami, dan menerima kemajemukan. “Kita membangun Indonesia mini,” katanya suatu ketika.