Iblis menyimak pun mengangguk-angguk. Dia tahu saat Allah menciptakan nyamuk. Hanya nyamuk betina yang menggigit dan mengisap darah untuk memberi makan telur-telurnya. Nyamuk betina bisa hidup dua kali lebih lama dibandingkan dengan nyamuk jantan. Bila nyamuk jantan hidup maksimal dua minggu, nyamuk betina bisa hidup lebih dari satu bulan.
Namun kebanyakan nyamuk mati berjihad dalam dua hari. “Kamu dan manusia lain juga akan segera mati, Sri.” “Betul, Mbah, tapi nyamuk merugikan kita. Mengisap darah kita.” “Ah, dasar kamu masih manusia, Sri.” “Maksudnya?” “Manusia itu, sudah tidak mampu menciptakan nyamuk, suka membunuhnya, menganggapnya pengganggu.
Baru digigit nyamuk saja sudah kesal, marah bahkan mengumpat.” “Kan kita diwajibkan menjaga kesehatan dan kebersihan, Mbah! Kalau digigit nyamuk, kulit kita bisa bentol-bentol. Apes-apesnya kena DBD atau Malaria.” Tiba-tiba guntur menggelegar. Gunung Kedut menggeram. Manusia menamakannya gempa vulkanik. Sendawanya beraroma belerang. Baunya persis kentut. Bagi orang Jawa, gunung adalah tahta suci para gaib.
Disucikan. Dikeramatkan. Dihormati dalam sistem Tertib Jagat. “Sri, Allah menciptakan nyamuk, antara lain untuk mengisap darah manusia. Kenapa? Agar manusia tahu, ada hak makhluk lain pada dirinya. Agar manusia paham, mengisap darah adalah ibadahnya nyamuk kepada Allah.” “Ya tapi tetap saja mengganggu, Mbah.”
“Manusia selalu merasa tidak pernah menggangu makhluk lain. Manusia selalu menuding makhluk lain mengganggu mereka. Pahamilah, Sri, nyamuk-nyamuk mengisap darah karena diperintah Allah. Ada ndak ciptaan Allah yang sia-sia dan tidak untuk beribadah kepadaNya?” “Ndak ada, Mbah.” “Nah. karena itu aku telanjang bulat. Aku ingin membantu nyamuk-nyamuk memenuhi pengabdiannya kepada Allah.
Aku menyedekahkan darahku, agar dengan begitu mereka bisa berbakti kepada Allah.” “Ya tapi lain kali tak usah telanjang di kebun belakang rumahku, Mbah. Kayak mau pamer barang kecilmu itu! Kan diketawain orang-orang kampung.” “Oh itu soal teknis, Sri. Perkara gampang. Masalah kecil” “Gampang gimana?” “Aku bisa telanjang di mana saja.” Belum sempat Sri berkomentar, Mbah Sastro sudah memelorotkan sarungnya.
Telanjang bulat lagi. Masuk ke dalam kamar Sri Munaroh. Nyamuk-nyamuk pun terkejut. Beterbangan. Sri Munaroh pingsan. Syech Yusufi yang menunggu di teras rumah Sri Munaruh tertidur pulas. Dikerubuti nyamuk-nyamuk kebon. Tiada sadar, ia pun bersedekah untuk para nyamuk. Bentol-bentol subuh nanti. Hahahahaha … Sumber: Diinspirasi dari cerita yang dikisahkan Syeikh Maulana Hizboel Wathany Disadur dari Sedekah untuk Nyamuk oleh Rusdi Mathari