Sedekah Darah untuk Kaum Nyamuk

Sedekah darah untuk kaum nyamuk
Sedekah darah untuk kaum nyamuk (Foto : )

antvklik – Petang itu, penduduk Kampung Kenyot geger! Gunung Kedut bergetar-getar! Hewan-hewan berlarian merangsek kampung. Jin dan para makhluk niskala penasaran. Ada apa gerangan di Kampung Kenyot? Usut punya usut, bukan karena aktivitas vulkanik Gunung Kedut meninggi. Tapi, Mbah Sastro tertangkap basah berdiri menatap jendela kamar tidur Sri Munaroh. Telanjang. Dikerubuti nyamuk-nyamuk kebon.

Kasak-kusuk penduduk pun menyebar. Dugaan kenthir ditudingkan ke Sang Marbot Langit ini. Takaran pikirnya kurang setengah sendok, kata mereka. Kebon milik Pak Ngay penuh sesak. Tontonan gratis apa lagi ini, gumam mereka. Maklumlah, mereka hanyalah orang gunung yang hiburannya hanyalah indahnya alam, kicau merdu burung-burung, gemercik air sungai nan jernih, bukan bioskop, festival musik, ataupun drama parlemen seperti di kota-kota.

“Woooiii … sudah gila ya?!” hardik Syech Yusufi. “Nih, sarungnya dipakai!” teriaknya. Mbah Sastro menengok lalu tersenyum. Bergeming. Tiada beringsut dari tempatnya berdiri. Syech Yusufi manggut-manggut. Dia tiba-tiba mengerti apa yang sedang dilakukan koleganya itu. Ada wangsit dari langit! Sri yang sedang berdzikir, spontan lari ke luar.

Ribut-ribut di halaman belakang rumahnya membuatnya terkejut. Nampak Mbah Sastro sedang dihardik para penduduk. Ditunjuk-tunjuk, dikata-katai. Tubuhnya telanjang, berselimut nyamuk. Gadis berparas ayu kampung itu pun menarik tangan Mbah Sastro. Masuk ke dalam rumahnya. Mengusir para tetangga.

Tontonan a la Rumah Bacot pun bubar. Semua manusia pergi. Tinggal para makhluk niskala yang menanti. Apa maksud semua ini? Segelas es teh setengah manis dihidangkan. Sungging senyum menyertainya. Gemulai cinta menyingsing dari sudut matanya. “Kenapa telanjang di kebun belakang rumahku, Mbah?” tanya Sri Munaroh. “Aku sedang bersedekah, Sri.” “Hah?! Sedekah?!” “Iya, sedekah, Sri.” “Sedekah apaan? Mosok sedekah telanjang gitu, Mbah?” “Mosok ndak boleh, Sri?” “Maksudku, sampeyan telanjang itu mau sedekah untuk siapa, Mbah?” “Nyamuk, Sri.” “Nyamuk, Mbah?!” “Emang kenapa, Sri?” “Di mana-mana, bersedekah itu ke manusia. Pakai barang atau ilmu.

Ini masak sedekah telanjang ke nyamuk?!” Setan Kober, Buto Ijo dan Wewe Gombel tertawa mengakak. Mereka setuju dengan apa yang dikatakan Sri Munaroh. Sedekah Koplak cibir mereka. “Lah terus yang mau bersedekah ke nyamuk siapa, Sri?” “Ya nyamuk memang sudah diciptakan untuk begitu, Mbah.

Gak perlu disedekahi.” “Ah, itu kan katamu, Sri. Setiap hari, setiap malam, coba hitung, berapa banyak nyamuk yang kamu bunuh hanya karena mereka mengisap sedikit darahmu dan mengganggu kenyamanan telingamu?” “Setahu saya, Mbah, Allah menciptakan nyamuk hanya berusia dua hari. Kita bunuh atau tidak, nyamuk akan segera mati dalam dua hari.”

Iblis menyimak pun mengangguk-angguk. Dia tahu saat Allah menciptakan nyamuk. Hanya nyamuk betina yang menggigit dan mengisap darah untuk memberi makan telur-telurnya. Nyamuk betina bisa hidup dua kali lebih lama dibandingkan dengan nyamuk jantan. Bila nyamuk jantan hidup maksimal dua minggu, nyamuk betina bisa hidup lebih dari satu bulan.

Namun kebanyakan nyamuk mati berjihad dalam dua hari. “Kamu dan manusia lain juga akan segera mati, Sri.” “Betul, Mbah, tapi nyamuk merugikan kita. Mengisap darah kita.” “Ah, dasar kamu masih manusia, Sri.” “Maksudnya?” “Manusia itu, sudah tidak mampu menciptakan nyamuk, suka membunuhnya, menganggapnya pengganggu.

Baru digigit nyamuk saja sudah kesal, marah bahkan mengumpat.” “Kan kita diwajibkan menjaga kesehatan dan kebersihan, Mbah! Kalau digigit nyamuk, kulit kita bisa bentol-bentol. Apes-apesnya kena DBD atau Malaria.” Tiba-tiba guntur menggelegar. Gunung Kedut menggeram. Manusia menamakannya gempa vulkanik. Sendawanya beraroma belerang. Baunya persis kentut. Bagi orang Jawa, gunung adalah tahta suci para gaib.

Disucikan. Dikeramatkan. Dihormati dalam sistem Tertib Jagat. “Sri, Allah menciptakan nyamuk, antara lain untuk mengisap darah manusia. Kenapa? Agar manusia tahu, ada hak makhluk lain pada dirinya. Agar manusia paham, mengisap darah adalah ibadahnya nyamuk kepada Allah.” “Ya tapi tetap saja mengganggu, Mbah.”

“Manusia selalu merasa tidak pernah menggangu makhluk lain. Manusia selalu menuding makhluk lain mengganggu mereka. Pahamilah, Sri, nyamuk-nyamuk mengisap darah karena diperintah Allah. Ada ndak ciptaan Allah yang sia-sia dan tidak untuk beribadah kepadaNya?” “Ndak ada, Mbah.” “Nah. karena itu aku telanjang bulat. Aku ingin membantu nyamuk-nyamuk memenuhi pengabdiannya kepada Allah.

Aku menyedekahkan darahku, agar dengan begitu mereka bisa berbakti kepada Allah.” “Ya tapi lain kali tak usah telanjang di kebun belakang rumahku, Mbah. Kayak mau pamer barang kecilmu itu! Kan diketawain orang-orang kampung.” “Oh itu soal teknis, Sri. Perkara gampang. Masalah kecil” “Gampang gimana?” “Aku bisa telanjang di mana saja.” Belum sempat Sri berkomentar, Mbah Sastro sudah memelorotkan sarungnya. 

Telanjang bulat lagi. Masuk ke dalam kamar Sri Munaroh. Nyamuk-nyamuk pun terkejut. Beterbangan. Sri Munaroh pingsan. Syech Yusufi yang menunggu di teras rumah Sri Munaruh tertidur pulas. Dikerubuti nyamuk-nyamuk kebon. Tiada sadar, ia pun bersedekah untuk para nyamuk. Bentol-bentol subuh nanti. Hahahahaha … Sumber: Diinspirasi dari cerita yang dikisahkan Syeikh Maulana Hizboel Wathany Disadur dari Sedekah untuk Nyamuk oleh Rusdi Mathari