Buruh Gendong, Angkat Angkut Perjuangan Perempuan

Buruh Gendong, Angkat Angkut Perjuangan Perempuan
Buruh Gendong, Angkat Angkut Perjuangan Perempuan (Foto : )

Apakah mereka akan terus menjadi Mbok Gendong? Tidak ada pilihan lain, kata mereka,” ujar Mak Lampir sengit. Mak Lampir makin bersemangat mengunyah sirihnya. Matanya merem-melek merasakan nikmat.

Sesekali tersedak lalu tertawa mengekeh geli. “Coba kamu pikir, Mbah. Akankah pasa-pasar itu bisa hidup tanpa buruh-gendong?” “Tersendat, Mak. Tanpa disadari buruh gendong sangat penting untuk ekosistem pasar.

Para pedagang butuh orang membawakan dagangan mereka sampai ke kios. Demikian pula pala pembeli. Butuh mereka untuk membawakan borongan dagangan ke mobil angkut,” jawab Mbah Sastro.

“Nah, bagi kalian manusia yang menggunakan jasa mereka, sedikitlah berbelas kasih. Jasa mereka tidak harus ditawar. Berbagilah rejeki untuk mereka,” saran Mak Lampir. Wajah Mak Lampir serius menatap Mbah Sastro. “Aku pernah jadi Mbok Gendong di pasar Bukittinggi.

Besok aku ceritain kamu, Mbah.” “Waktu muda atau sudah peyot begini?” Tanya Mbah Sastro serius. “Sudah tua, setelah lulus berguru pada Nenek Serintil di Gunung Marapi,” jawab Mak Lampir.

Mbah Sastro mengangguk-angguk, membayangkan Mak Lampir mengangkut beban belanjaan seratus kilogram. Membayangkan Mak Lampir diomeli para juragan pasar. Sedih ..

Catatan pinggang: Rumah Bacot. Rumah ini terletak di Kampung Kenyot, lereng Gunung Kedut. Di rumah inilah bacot-bacot kerap dikumandangkan. Mulai dari manusia, peri, bidadari, jin, malaikat hingga iblis pernah ngebacot di rumah itu.