“Celana kekinian, tadi beli di Pasar Beringharjo,” jawab perempuan bernama aseli Siti Lampir Maimunah itu. Siang melingsir sore. Burung Kuntul beterbangan di atas langit, pulang ke sarang.
Kabut mulai turun mendekap Gunung Kedut. “Lagi ngapain tadi kamu, Mbah?” “Nerawang Mbok Gendong. Eh, gak taunya yang datang Mbok Lampir.” Keduanya tertawa ngakak dan ngekek sampai batuk-batuk tersedak ludah. Maklum sudah pada tua.
Mbok Gendong, kata Mak Lampir, sungguh berat dilakoni. Mereka harus menaklukkan fisik dan perasaan. Maksudnya? Begini, secara fisik mereka menggunakan kemampuan otot.
Mereka harus mengangkut beban belanjaan di punggungnya bahkan hingga seratus kilogram. Untuk yang muda masih bisa melakukannya. Nah, bagaimana dengan yang sudah renta? Mereka yang renta tentu makin tersingkir.
Mereka ini rawan cedera punggung. Sekali cedera karena menumpu beban, hilang sudah pendapatan hari itu. Mereka, juga hanyalah pekerja lepas. Siapa yang menjamin kesehatan bagi mereka? Bagaimana dengan perasaan? Mereka kerap mengalami kekerasan verbal loh! Juga sering mengalami pelecehan seksual juga, baik secara fisik maupun verbal!
“Coba kamu tanya mereka, bagaimana juragan-juragan pasar itu memperlakukan mereka!” “Di Jogja sekarang sudah ada Paguyuban Buruh Gendong DIY namanya Sayuk Rukun, Mak,” ujar Mbah Sastro. “Organisasi itu memang perlu untuk melindungi para Mbok Gendong.
Tapi bagaimana pemerintah mengapresiasi organisasi dan para anggotanya ini?,” sahut Mak Lampir. “Mbah, kamu sebagai Marbot Langit, cobalah pergi ke pasar-pasar di Jogja sana. Lihatlah, para buruh gendong kebanyakan perempuan. Mbok Gendong! Kerasnya hidup memaksa mereka melakukan pekerjaan yang cenderung maskulin ini.