Blast
Furnace molor hingga 72 bulan, dari semestinya pada tahun 2011 silam. Akibatnya, terjadi kelebihan waktu mulai beroperasi. Investasi yang seharusnya Rp7 triliun, membengkak menjadi sekitar Rp10 triliun. Selain itu, harga pokok produksi yang lebih mahal, dapat merugikan perseroan hingga sebesar Rp1,3 triliun per tahun, jika proyek tetap dijalankan.“Tidak adanya kepastian siapa yang bertanggung jawab, baik teknis maupun kerugian keuangan, jika dalam 1-3 tahun proyek dioperasikan lagi,” imbuhnya.Roy Maningkas menilai potensi kerugian karena proyek dipaksakan yaitu harga pokok produksi (HPP) slab
baja yang dihasilkan dari proyek ini, lebih mahal 82 dolar AS per ton jika dibandingkan dengan harga pasar."Jika produksi 1,1 juta ton per tahun, maka potensi kerugian Krakatau Steel bisa mencapai sekitar Rp1,3 triliun per tahun," ujarnya.Ia juga menilai pengujian proyek Blash Furnace dipaksakan harus selesai dalam waktu dua bulan karena adanya permintaan Direksi Krakatau Steel. Alasannya, operasional hanya dua bulan sesuai dengan keterbatasan ketersediaan bahan baku.Padahal menurut pendapat Dewan Komisaris Krakatau Steel, waktu pengujian proyek ini minimal enam bulan lamanya oleh konsultan independen karena fasilitas ini sensitif dari sisi kehandalan dan keamanan proyek.Roy Maningkas berharap dengan pengunduran dirinya sebagai Komisaris Independen PT. Krakatau Steel Tbk, mendapat perhatian besar dari Kementerian BUMN agar persero tidak mengalami kerugian besar.
Baca Juga :