Menurut data, 1,3 juta penduduk Bangkok menderita sakit dengan 200 ribu di antaranya dirawat di RS dan 700 meninggal dunia pada puncak polusi udara akhir Januari dan awal Februari.
Waktu itu otoritas kota sampai mendesak orang untuk bekerja dari rumah. Sekarang pun, juru bicara dari Kantor Gubernur Bangkok mengatakan mereka tidak akan ragu untuk sewaktu-waktu mengeluarkan perintah serupa jika situasinya memburuk.
Kementerian kesehatan setempat mengatakan sebanyak 50 distrik di Bangkok mencatat tingkat yang tidak aman dari partikel PM2.5 yang paling berbahaya. Partikel ini sangat kecil sehingga dapat memasuki aliran darah.
Dua hari yang lewat berturut - turut pas saya di Bangkok Alhamdulillah statusnya aman menurut Index Kualitas Udara. ( AQI).
Tetapi AQI mengingatkan juga hari ketiga dan seterusnya status Bangkok kembali tidak aman.
Selama di Bangkok siang malam saya sengaja memperhatikan jalanan dari depan hotel tempat saya menginap di pusat kota. Hingga pukul 10 semalam, kemacetan belum reda. Arus lalulintas semakin bertambah menjadi -jadi parahnya karena turun hujan. Beberapa ruas jalan tergenang banjir.
Puluhan "Tuk Tuk" berhias lampu berwarna-warni mirip es campur tetiba menyerbu masuk halaman hotel. Seperti rombongan festival, disertai iringan musik yang disetel dengan volume keras. "Tuk Tuk " lalu menumpahkan penumpang turis, kebanyakan dari Afrika.
Ditimpali aksi tepuk tangan dan sorak sorai panjang dan suara cekikikan.Mungkin mau menggambarkan pembebasan penderitaan mereka disiksa kemacetan berjam-jam di jalan.
Oh, iya : Tuk Tuk adalah kendaraan umum tiga roda seperti Bajaj di Jakarta. Di Bangkok kendaraan ini sangat populer, menjadi elemen penting pariwisata. Penampakannya memang menarik dihiaso lampu warna diselujur bodinya sehingga mirip gelas berisi es campur berjalan di malam hari.
Luas Kota Bangkok 1.565 km persegi, jauh lebih besar dibandingkan Jakarta yang hanya 650 km persegi. Penduduknya pun sekitar 9 juta, lebih sedikit dari Jakarta yang sekitar 11 juta jiwa. Mestinya Bangkok lebih longgar apalagi dengan infrastruktur angkutan umum lebih baik, lebih lengkap.
Kenapa Bangkok lebih parah?
Mungkin karena jumlah turisnya 20 juta jiwa / tahun atau rata - rata 2 juta jiwa perbulan. Sesuatu yang mustahil untuk dielakkan. Otoritas Pariwisata di kota ini bahkan mau menggenjot angka turis hingga 30 juta selepas Pandemi Covid-19 tahun ini. J
umlah turis itu setara dengan pendapatan USD 50 M. Kalau saja terealisasi, maka Thailand lebih pantas punya Ibu Kota baru dibandingkan IKN Indonesia, karena riel punya uang banyak dari kocek dan penghasilan sendiri.
Catatan ini sangat boleh jadi dipengaruhi perasaan galau saya yang masih berkabung saat tiba di Bangkok, Selasa (22/8/2023) sore itu. Kakak Ipar saya, Sigit Winsu Tantomo (72) di Yogyakarta meninggal dunia jelang saya boarding di pesawat.
Maka seakan tawar saja satu dua hari ini berada di Kota Malaikat itu. Makan saja pun belum saya temukan yang enak. Padahal, dunia mengakui Bangkok surga wisata kuliner.
Saya masih terkenang kakak ipar yang meninggal dunia di Yogyakarta di hari dan jam penerbangan saya ke Bangkok. Semoga Mas Sigit yang dimakamkan esoknya diterima di sisi Allah SWT. Memperoleh tempat lapang, nyaman, dan indah di sisi-Nya.
Di Bangkok, saya terus meng update berita tentang almarhum hingga upacara pemakamannya. Perasaan baru sedikit lega melihat begitu banyak yang datang melayat, mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir dia.