Saat itu, saya bersama Bernard Pepe mantan pemain Persija menjadi komentatornya di antv. Laga juga disaksikan oleh Erick Thohir yang saat itu masih menjadi Dirut di Media Grup Bakrie, bersama Anin Bakrie yang kini menjadi Ketua Kadin, serta Reva Deddy Utama, Wapemred Antv/tvone. Tidak hanya itu, saat memperebutkan peringkat ketiga, Brasil juga kalah telak dari Belanda, 3-0.
Kala itu, tak ada orang Brasil yang tak marah. Bahkan, tak sedikit orang non-Brasil yang ikut kecewa. Tapi, sepakbola Brasil tidak padam. Gagal di Piala Dunia juga bukan yang pertama, namun kehidupan sepakbola di negeri Samba itu tetap terus berjalan, meski hingga hari ini Brasil belum bisa kembali menjadi juara dunia.
Kita, memang bukan Brasil. Dari segi apa pun, jauh dari Brasil. Untuk itu, Brasil saja tidak kiamat, mengapa kita harus menamatkan diri? Mengapa seolah-olah kekelahan yang memang menyakitkan itu harus menghapus seluruh mimpi? Menutup semua harapan?
Finishing
Seorang sahabat mengirimkan gambar dari (11/8/1968) saat tim nas kita membantai Jepang 7-0. Mas Gareng (Sutjioto Suntoro) membuat _heatrick_, Yakob Sihasale mencetak dua gol awal, kemudian Abdul Kadir, dan Surya Lesmana masing-masing mencetak satu gol.
Jauh sebelum itu, di Asian Games III, Tokyo, kita pun menang 4-3 atas Jepang. Tapi, jika ditotal secara keseluruhan, lebih banyak kita kalah. Tiga kekalahan terbesar kita; 0-6 (10/8/1968) Merdeka Games, 0-4 (31/5/1978) Piala Jepang, dan 0-5 di Kualifikasi Piala Dunia 1990, di Tokyo (11/6/1989).
Khusus laga ketiga ini, saya bersama beberapa sahabat, satu di antaranya Eddy Lahengko, meilput langsung ke Tokyo. Sahabat lain melemparkan tanya dan selintas analisa: "Saya masih mikir, apakah pemain yang bagus-bagus saat main di Eropa, masih cocok dilatih oleh pelatih Asia?" tanyanyqa lewat WA. "Pak MN (inisial saya saat masih di Kompas) yang sudah malang-melintang di persebakbolaan nasional, regional bahkan Internasional yang bisa menjawab itu!" tulisnya. Jujur pertanyaan dan analisa yang tidak mudah untuk dijawab.