Ringkas kisah, sejatinya, tidak ada satu pun celah hukum yang bisa digunakan Indogrosir untuk tetap bertahan di atas lahan yang nyata-nyata bukan miliknya tersebut, namun masih tercatat atas nama Tjoddo dan ahli warisnya, dalam hal ini Daeng Nai beserta keluarganya.
Karenanya, wajar bila sejak 2014 hingga saat ini, tak lagi terhitung banyaknya aksi dan upaya perebutan paksa yang dilakukan oleh Daeng Nai.
Aksi heroik terakhir berlangsung pada hari Minggu pagi di Bulan Puasa lalu, tanggal 15 April 2023, dengan melakukan penyegelan atas gerbang masuk lokasi Indogrosir.
Saat itu, pihak Indogrosir sempat menawarkan kepada Daeng Nai dan keluarganya untuk melakukan gugatan hukum kepengadilan, bila ingin kembali memiliki tanah tersebut.
Pihak Indogrosir berdalih, Indonesia adalah negara hukum. Tanah yang kini ditempati oleh Indogrosir, sepenuhnya memiliki dasar hukum yang kuat, yakni sertifikat, meski sertifikat itulah yang kini menjadi pangkal sengketa antara Indogrosir dengan ahli waris keluarga Tjoddo. Namun, tawaran Indogrosir tersebut ditolak mentah-mentah oleh Daeng Nai.
Selaku orang paling berkepentingan atas kembalinya tanah warisan itu, Daeng Nai menilai, amat-sangat tidak masuk akal bila dirinya harus melakukan gugatan hukum atas tanah miliknya di Kilometer 18 itu, yang nyata-nyata telah diduduki paksa Indogrosir dengan menggunakan sertifikat palsu dan rincik palsu dari Kilometer 20 dan Kilometer 17.
“Bagaimana mungkin saya harus menggugat hak kepemilikan atas tanah saya sendiri?” tutur Daeng Nai. Lelaki berusia 64 tahun, pensiunan Departemen Perhubungan, ini kemudian bahkan menebar ancaman akan menutup paksa gerbang masuk ke tanah yang kini ditempati bangunan Indogrosir, dalam waktu yang tidak terlampau lama lagi. “Saya dan keluarga saya sudah siap mati, bahkan bila perlu tewas terkubur di tanah kami sendiri,” tegas Daeng Nai.