Antv – Selain nafkah lahir yang wajib ditunaikan oleh suami kepada istri, nafkah batin juga merupakan hak istri yang wajib ditunaikan oleh suami, seperti yang diatur oleh Allah SWT dalam Al Quran.
Sebagaimana bunyi Surat At-Talaq ayat 7;
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُ ۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا
Artinya; “Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.”
Selain itu juga, ada pendapat Syaikh Wahbah Zuhaili mengenai kewajiban seorang suami untuk menunaikan nafkah lahir dan batin yang menjadi hak seorang istri.
Hal tersebut ditandaskan dalam kitabnya Fiqhul Islam wa Adillatuhu juz 9 halaman 6832;
للزوجة حقوق مالية وهي المهر والنفقة وحقوق غير مالية وهي إحسان العشرة والمعاملة الطيبة والعدل
Artinya: “Bagi istri terdapat beberapa hak yang bersifat materi yaitu berupa mahar dan nafkah, dan hak-hak non materi yaitu memperbagus dalam menggauli dan hubungan baik serta berlaku adil.”
Lalu yang sering menjadi pertanyaan masyarakat adalah berapa lama suami boleh tidak memberi nafkah batin kepada istri?
Pasalnya, banyak dari para istri terkadang ditinggal bekerja oleh suaminya sampai beberapa waktu yang mana sang istri tak mendapatkan nafkah batin.
Imam Ibnu Hazm berpendapat bahwa kewajiban suami untuk memberikan nafkah batin kepada istrinya adalah minimal satu bulan satu kali.
Pendapat ini beliau kemukakan berdasarkan Alquran surat al-Baqarah ayat 222:
فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
Artinya; “Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.”
Mengapa ayat tersebut yang dijadikan sumber oleh Imam Ibnu Hazm? Karena beliau memahami bahwa siklus haid perempuan adalah satu bulan satu kali, sehingga perintah untuk menggauli istri pada ayat di atas menunjukkan kewajiban.
Sementara di dalam kitab Mukhtashar Al-Muzanni, Imam Syafi`i berpendapat bahwa batas maksimal suami boleh tidak menggauli istrinya adalah empat bulan.
Pendapat ini berdasarkan keputusan yang dibuat oleh Sayyidina Umar bin Khattab RA.
Hal ini beliau buat karena pada waktu itu banyak para suami pergi untuk berperang selama berbulan-bulan dan mereka meninggalkan istrinya di rumah dan banyak istri-istri bersedih akan hal itu.
Maka setelah berdiskusi dengan Sayyidatina Hafshah beliau memutuskan bahwa prajurit yang pergi berperang selama empat bulan untuk pulang menemui istrinya, atau menceraikannya.
وَكَتَبَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – إلَى أُمَرَاءِ الْأَجْنَادِ فِي رِجَالٍ غَابُوا عَنْ نِسَائِهِمْ يَأْمُرهُمْ أَنْ يَأْخُذُوهُمْ بِأَنْ يُنْفِقُوا أَوْ يُطَلِّقُوا فَإِنْ طَلَّقُوا بَعَثُوا بِنَفَقَةِ مَا حَبَسُوا. وَهَذَا يُشْبِهُ مَا وَصَفْت.
Artinya; “Umar bin Khattab RA pernah menulis surat kepada para panglima perang tentang para suami yang pergi meninggalkan istrinya. Sayyidina Umar memerintahkan kepada mereka agar memilih dua opsi yaitu antara memberi nafkah atau menceraikannya. Jika mereka memilih untuk menceraikan maka mereka harus menunaikan nafkah yang belum diberikan selama meninggalkan istri. Hal ini sama dengan apa yang aku (As-Syafi’i) katakan.”
Kesimpulannya, batas waktu maksimal suami boleh tidak menggauli istri masih menuai perdebatan, namun yang dijadikan pedoman oleh sebagian besar ulama fikih khususnya Syafi’iyah adalah selama empat bulan.
Sehingga apabila lebih dari batas waktu tersebut suami harus memilih opsi antara bertahan dengan menggauli istrinya atau mentalak istrinya.