Antv –
Oleh M. Nigara
Wartawan Sepakbola Senior
KAMIS, 23 Februari 1984, untuk pertama kali saya tiba di Medan. Misi utamanya mewawancarai Pa Katua (Tumpal Darius Padede), terkait bubarnya Klub Non Amatir pertama di Indonesia.
Sejak dua tahun lalu, beberapa kali saya diperintah Bang Valens, Redaktur Olahraga Kompas untuk mewawancarai Pa Katua, tetapi mantan anggota Kabinet 100 Menteri Era Bung Karno, yang masa asa tugasnya amat singkat, 24 Februari 1966 hingga 27 Maret 1966, selalu menolak.
Maka, ketika akhirnya saya kembali mendapat tugas dari Mas SM (Sumohadi Marsis) Wapemred BOLA, sebagai wartawan muda adrinalin saya menggelegak. Sekali ini saya ditugaskan langsung ke Medan.
Sebelumnya, saya sudah mengontak Bang Samin Pardede, Koresponden Kompas yang sudah seperti kakak saya sendiri. Tapi, seperti saat ditugaskan Bang Valens, Pa Katua tetap menolak.
"Pokoknya kau datang aja ke sini, biar kuolahnya Katua," kata Bang SP, inisial Bang Samin di Kompas.
Singkatnya, Katua akhirnya mau menerima saya dan Bang SP. Dari awalnya hanya berdiri di pintu mobil, Pa Katua akhirnya mengajak saya dan Bang SP untuk bicara di ruang kantornya. Pa Katua, berkisah banyak tentang Jonhy Pardede.
"Dia anak pintar, main bolanya juga bagus kali," begitu kira-kira awal kisahnya.
Ketika sampai pada pertanyaan, mengapa Pardedetex dibubarkan? Padahal klub itu merupakan pionir dari klub-klub profesional di tanah air. Klub tempat bintang-bintang nasional berkumpul. Klub yang menjadi bayang-bayang tim nasional.
Ya, Sutjipto Suntoro (Gareng), Iswadi Idris, Yakob Sihasale, dan para bintang top Indonesia saat itu, berkumpul di sana. PSSI selalu memanfaatkan Klub Pardedetex sebagai bagian yang langsung dari tim nasional.
Ndang olo
"Ndang olo ahu dimaki halak! (Tak sudi aku dimaki orang)," begitu kata Katua.
Lalu, masih kata Katua, ia juga kasihan dengan Johny, putra bungsunya yang sejak 3-4 tahun terakhir dipercaya memegang klub asal kota Medan itu.
Ketika itu, hantu suap sedang kuat-kuatnya menerpa sepakbola Indonesia. Pardedetex dan JP, berkali-kali diisukan ikut larut di arena hitam itu. Catatan, hingga beberapa tahun setelah pembubaran itu, tak satu bukti pun yang menyatakan Pardedetex dan JP terlibat.
Namun, makian makin lama makin kencang. Orang tak ragu langsung menuding. Hal itu yang akhirnya membuat JP jatuh sakit. Itu juga yang menyebabkan Katua mengambil langkah dramatis.
Selepas wawancara, tepatnya mendengar curhatan Pa Katua, saya dan Bang SP menuju ke tempat JP tinggal. Tapi, meski sudah menunggu lama, JP tak kunjung keluar. Dan, ketika edisi perdana BOLA (3/3/1984) dengan judul Ndang Olo Ahu Dimaki Halak, JP menelpon saya.
Lama tak bertemu, JP tiba kembali ke Jakarta membawa 'klub' barunya Hartap (Harimau Tapanuli). Dengan gagah Hartap menantang Persipura, juara baru Perserikatan, 1993.
"MN, kau lihat nanti klub baruku, " katanya satu siang di Jl. Raden Saleh, di hotel Pardede, di Jakarta Pusat. JP lalu berkisah ingin kembali ke dunia sepakbola, hanya saja ia ingat pesan Katua. Ada keraguan menyelimuti wajahnya, begitu kuat dan begitu dalam.
"Kalau aku sekarang membuat klub Hartap, ini bukan berarti aku telah melawan pesan Katua," katanya saat itu.
Lama tak mendengar kisahnya, tiba-tiba dua sahabat saya, Aji Ridwan Mas dan Patar Tambunan, mantan pemain nasional PSSI Garuda, mengabari saya Johny Pardede, Rabu (15/5/2024) telah berpulang.
"Sudah seminggu beliau sakit," kata keduanya.
Selamat jalan sahabat, semoga Tuhan mengampunimu....