Antv – TANPA menggugurkan rasa hormat dan bangga saya sedikit pun, pada: Mas Gareng (Sutjipto Suntoro), Mas Is (Iswadi Idris), Mas Gayeng (Risdianto), Papi (Yudo Hadianto), Bang Amrai (Ronny Paslah), Bang Djun (Djunaedi Abdillah), STN (Sutan Harhara), Anjas Asmara, Ronny Patti, Herry Kiswanto dan seluruh punggawa nasional hingga era sebelum Shin Tae-yong, saya terpanggil untuk meluruskan. Ini penting agar anak-anak era milenial saat ini tidak salah menyikapi sejarah sepakbola Indonesia.
Anjas Asmara, salah seorang bintang nasional 1970-80an, dalam satu acara di televisi mengatakan: "Lima puluh tahun lalu, kita berjaya. Jepang dan Korea kita yang mengajari sepakbola," begitu katanya.
Benarkah begitu? Saya tidak akan menjawab, tetapi saya hanya akan memaparkan fakta yang ada.
Begini, sepakbola itu jelas ukurannya. Multi event, Olimpiade dan Single event, Piala Dunia. Di tingkat yang lebih bawah, Asian Games dan Piala Asia. Saya tidak memasukkan Sea Games dan AFF, karena menurut hemat saya kurang pas.
Jadi, sepanjang satu negara belum pernah tampil di empat event tersebut, maka, suka atau tidak, belum bisa kita sebut berjaya. Lalu, apakah hasil uji coba dalam laga single atau turnamen, bisa kita sebut berjaya?
Harusnya tidak. Tetapi, jika ada yang menyebut hasil-hasil itu adalah sebuah prestasi, ya boleh-boleh saja. Tapi, jika hasil itu disebut sebagai kejayaan, rasanya kurang tepat.
Lalu, benarkah apa yang dikatakan Anjas Asmara? Sekali lagi, mungkin itu hanya menandakan rasa kesal anak Medan ini. Pasti tidak bermaksud sungguh-sungguh mengatakan bahwa Jepang dan Korsel, kita yang mengajari mereka bermain bola.
Dari kelahiran federasi atau asosiasi, JFA (Japan Football Association) lahir 1921 dan langsung bergabung dengan FIFA. Korea Selatan KFA (Korea Football Association) berdiri 1933 dan 15 tahun kemudian, tepat 1948 bergabung ke FIFA. PSSI, lahir sebagai alat perjuangan, 19 April 1930, setelah 22 tahun atau tepatnya 1952 baru bergabung dengan FIFA.
Dari kontek ini, kita jelas melihat siapa yang lebih dahulu memainkan si kulit bundar. Bahwa Jepang , Nagasaki dan Hiroshima dibom atom, itu tudak menghapus catatan sepakbola Jepang.
Baik Jepang maupun Korsel, keduanya sudah lebih dari tiga kali ikut olimpiade. Jepang menghasilkan 1 perak, 1 perunggu, dan 2 kali peringkat empat. Korsel sendiri baru satu kali meraih perunggu, Olimpiade London 2012. Indonesia, dengan segala hormat baru satu kali ke Olimpiade Merlbourne, Australia, itu pun diundang tuan rumah karena kualifikasi memang belum ada.
Lalu di Piala Dunia, Jepang dan Korsel juga sudah lebih dari 4 kali. Khususnys Korsel, setelah menang atas Indonesia di kualifikasi 1986, sudah sembilan lali berturut-turut tampil di Piala Dunia. Kita, sekali lagi, tanpa mengurangi rasa hormat, kagum, dan bangga, belum sekalipun tim senior bisa tampil di Piala Dunia. Kalau pub Bambang Nurdiansyah dan kawan-kawan pernah tampil di Piala Dunia Junior, 1979, Tokyo, itu ditunjuk AFC menggantikan Irak dan Korut.
Head to Head Vs Jepang
Dari 15 kali pertemuan, baik di event resmi maupun tidak:
1. Tahun 1954 (Asian Games, Tokyo) 5-3
2. Tahun 1967 (AFC Asian Cup) 1-2
3. Tahun 1968 (Merdeka Tournament) 0-7
4. Tahun 1970 (Merdeka Tournament) 3-4
5. Tahun 1970 (Asian Games) 1-2
6. Tahun 1972 (Friendly Games) 1-0
7. Tahun 1975 (Merdeka Tournament) 1-4
8. Tahun 1976 (Merdeka Tournament) 0-6
9. Tahun 1978 (Merdeka Tournament) 2-1
10.Tahun 1978 (Japan Cup) 0-4
11.Tahun 1979 (Merdeka Tournament) 0-0
12.Tahun 1981 (Friendly Games) 2-0
13.Tahun 1981 (Merdeka Tournament) 0-2
14.Tahun 1989 (Pra Piala Dunia) 0-0
15.Tahun 1989 (Pra Piala Dunia) 0-5
Head to Head Vs Korsel
Sedikitnya 58 kali kita bertemu dengan Korsel, 7 kali kita menang, 8 draw, 43 kalah.
Kekalahan terbesar 1-7, 1974 di President Cup, 0-6, 1979 di Merdeka Tournament. Lima kali kalah 0-4.
Dua kali kita menang 3-0 masing-masing 1962 di Merdeka Tournament dan 1969 di turnamen yang sana. Kita juga pernah menang 5-2, 1972 di Jakarta Annyversary Cup.
Sekali lagi, saya kira Anjas tidak sungguh-sungguh mengatakan hal itu. Kadang jjka kita terlalu emosi, sering terlontar hal-hal di luar nalar. Anjas adalah bintang tahun 1970-80an. Sayang, penaltinya saat laga penentuan menuju Olimpiade Montreal 1976, gagal. Padahal kita sudah unggul 4-3 dan unggul penendang.
Satu-satunya pelajaran diambil Jepang dan Korsel adalah soal kompetisi. JFA dan KFA hingga 1980an awal belum jelas arah kompetisinya. Mereka datang ke Galatama, kompetisi nasional pertama di Indonesia.
Mereka melihat ada bonden (Perserikatan) ala Belanda, Galatama, Galakarya, dan Gala ABRI. Kedua mengikuti jejak Galatam, non amatir dan Galakarya, sepakbola yang melibatkan perusahaan.
Dari sana kemudian muncul Klub Matsushita (Jepang) di mana Ricky Yakob pernah bermain, Klub Daewoo (Korsel). Bedanya, mereka bersatu: Eksekutif, memberi dukungan agar perusahaan besar mau memberilan sponsor. Yudikatif, menjaga agar tidak koruptif. Legislatif, membuat regulasi lancar. Dan, wartawan memberi dukungan pemberitaan positif. JFA dan KFA diberi tenggat waktu la tahun, jila tidak nerjalan baik, baru boleh 'dibom' dengan kritik keras.
Hebatnya, orang sepakbola di kedua negara itu bahu-membahu hingga batas waktu lima tahun. Di kita...? Hehehe, cermati saja kisah Shin Tae-yong yang terus digempur meski ia sudah meloloskan tiga level U20, U23, dan Senior ke Piala Asia. STY tetap dianggap tidak layak....
Semoga bermanfaat....