Oleh:
M. Nigara
Wartawan Sepakbola Senior
Antv - PRO-KONTRA soal naturalisasi pemain, untuk memperkuat tim nasional sepakbola kita, sampai kapan pun akan tetap mengemuka. Tetap menarik untuk jadi bahan diskusi.
Tidak ada yang keliru, baik untuk mereka yang pro maupun yang kontra. Basis pemikirannya, sama: untuk dan bagi Indonesia Jaya.
Yang jelas salah, jika tujuan naturalisasi hanya untuk kepentingan kelompok tertentu. Misalkan naturalisasi untuk klub atau naturalisasi untuk bisnis sesaat dan bisnis kecil-kecilan.
Adakah itu? Saya tidak ingin menjawabnya, jika kita rajin membuka-buka lembaran berita, apakah itu cetak atau online kita pasti menemukan jawabannya.
Berdikari
Bung Karno, setahun sebelum genap 20 tahun kemerdekaan Indonesia. Presiden pertama kita itu, menyinggung konsep berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) untuk pertama kalinya.
Dalam pidato berjudul Tahun Vivere Pericoloso!, Bung Karno memformulasikan konsep Trisakti, yakni: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan sebagai bentuk revolusi suatu bangsa. (Idntimes.com).
Nah, bagi yang kontra naturalisasi, basisnya pasti berdikari itu. Sungguh luar biasa. "Mengapa harus menggunakan tenaga dan keakhlian orang lain, jika kita sendiri mampu melakukannya. Kita memiliki bahan baku yang banyak?" begitu kira-kira.
Dari dataIndonesia.id, jumlah populasi anak-anak remaja hingga pemuda, usia 10-24 tahun jumlahnya 66 juta atau 23,08 persen dari populasi kita. Satu jumlah yang luar biasa.
Jadi, jelas bagi mereka yang kontra naturalisasi, mereka menjunjung tinggi nasionalisme. Sungguh langkah yang patut diacungi jempol.
Masak Susah sih?
Kita juga sering mendengar orang bertanya: "Masak sih, dari jumlah sebanyak itu, kita tidak bisa mencari 11 orang untuk menjadi pemain hebat?"
Tentu sulit untuk menjawab dengan benar. Karena, jangankan mencari 11 orang untuk cabang olahraga beregu, mencari seorang petinju, pejudo, perenang, pesenam, petenis, karateka, dan lain-lain, kecuali bulutangkis dan Panjat Tebing, kita belum bisa. Padahal semua adalah cabor yang mempertandingkan nomer-nomer individu, banyak kelasnya pula.
Sesungguhnya kita (selalu masih jadi harapan) bisa. Syaratnya semua federasi serius mencari, menanam, membina, dan baru memetik hasil. Seperti yang dicontohkan dua cabor, bulutangkis dan Panjat Tebing. Mereka bisa dan luar biasa.
Nah, peran pemerintah, pengusaha, dan kita wartawan olahraga, bisa ikut memberikan dukungan yang maksimal. Dengan begitu, bukan tidak mungkin kita mampu.
Pertanyaannya, apakah itu bisa terjadi? Jawabnya singkat, tidak. Dari pengalaman yang ada, kita sering asyik bersitegang dan berseberangan.
Kita semua, berdiri sendiri-sendiri. Kita memandang dan melihat dengan cara kita sendiri-sendiri. Akibatnya, jalan terbaik yang kita tempuh selalu penuh liku.
Padahal Jepang dan Korsel saat membangun kompetisinya, mencontek apa yang ada di kita. Dulu, setiap BUMN memiliki klub sepakbola dan berkompetisi di jalur Galakarya. Satu contoh ini mutlak ditiru maka tak heran jika ada klub Matsushita di Jepang, dan ada klub Hyundai di Korsel.
Sebelum mereka menggelar kompetisi JFA dan KFA, semua pihak duduk bersama. Berikrar untuk memajukan sepakbola demi negara. Maaf, tidak saling jegal seperti di kita.
Selain itu saya juga tidak melihat rancangan atau design besar yang jelas untuk menuju ke arah berdikari tadi. Metode, strategi, untuk mencapai prestasi, juga masih belum terlihat dengan jelas hingga saat ini.
Sejak saya jadi wartawan olahraga 1979 di Majalah Olympik, 1981-94 di Kompas dan BOLA, 1994-2012 di Media GO dan Harian GO Sport, saya tidak melihatnya. Kalau pun ada program khusus, belum sampai tujuan sudah bubar jalan.
Diklat Salatiga, Garuda 1-2, Primavera, dan Barretti, banyak betul yang menghajarnya. PSSI tak tahan, lalu dibubarkan.
Tidak kepalang yang 'mengeroyoknya' ya para insan dan praktisi sepakbola, serta, maaf nih, teman-teman wartawan juga. Alasannya pun beragam, intinya mereka menganggap program itu sia-sia.
Setelah ditelusuri, ternyata tidak sedikit yang 'menghajarnya' dengan basis tidak suka semata.
Padahal Diklat Salatiga, biaya ditanggung Bardosono, Ketua umum PSSI pada masa itu. Garuda, dibiayai Mas Sigit Harjojudanto, salah seorang pengurus PSSI dan pemilik klub Arseto. Sementara Primavera dan Barretti, yang pertama di dunia dan kemudian diikuti Thailand dan Cina, tim asing bisa ikut kompetisi kelompok usia di Italia. Dan, seluruh biaya ditanggung Bang Nirwan Bakrie, juga pengurus PSSI dan pemilik klub Pelita Jaya, kini Persija.
Hasilnya? Seperti kita saksikan, semua hancur berkeping sebelum sampai tujuannya. Meski begitu, banyak pemainnya yang kemudian jadi tulang punggung tim nas. Artinya, program itu sesungguhnya sudah benar, tapi karena ada sesuatu,
tujuan utama mereka tidak tercapai.
Sekali lagi, atas nama nasionalisme yang tinggi, atas nama kemandirian, bagi yang kontra, naturalisasi haram hukumnya melakukan naturalisasi. Sekali itu juga tidak keliru.
Brasil dan Argentina sebagai negara terkemuka dalam dunia sepakbola, contohnya. Sejak dulu hingga hari ini, kedua negara itu tidak pernah memakai pemain yang bukan warga negara asli.
Kita ketahui bersama pula, sepakbola di dua negara itu, begitu luar biasa hebatnya. Brasil 5 kali juara dunia dan Argentina 3. Kehebatan kedua negara itu tak ada yang meragukan.
Mereka Aja Pakai...
Nah, bagi mereka yang pro juga sama sekali tidak salah. Mereka pun punya basis serupa, ingin membuat Indonesia bisa menggapai Piala Dunia. Maklum, sejak 19 April 1930, saat Ir. Soeratin nekad melahirkan PSSI, 15 tahun sebelum Indonesia merdeka, hingga hari ini, khususnya tim senior kita, belum sekalipun mencicipi putaran final pesta sepakbola dunia.
Jika ada orang menyebut kita pernah ikut Piala Dunia 1938 di Perancis, itu kurang tepat. Betul tuan rumah Perancis mengundang PSSI, catatan, saat itu PD tidak melalui babak penyisihan seperti saat ini. FIFA masih memberi hak penuh pada tuan rumah untuk mengundang negara mana pun sebagai peserta.
Seperti kita ketahui pula, FIFA sejak dulu menganut azas, anti penjajahan. Tetapi, jika Perancis tidak pernah mendengar sepak-terjang PSSI, maka tidak mungkin mereka mau mengundangnya. Dan FIFA menyetujuinya karena mereka ingin mendukung agar penjajahan dihapuskan di Nusantara.
Sayang, syarat yang diajukan Gubernur Jendral Hindia Belanda, Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (1936-42), tidak bisa diterima Soeratin. Mereka diwajibkan menggunakan nama Hindia-Belanda, dan lambang kerajaan Belanda wajib dipakai.
Soeratin menolak. Meski Indonesia belum lahir, tapi Merah-Putih dan Lambang Garuda sudah dipakai oleh PSSI. Soeratin lalu memberi sinyal agar para pemain atas nama bonden (Asprop, saat ini) dan pribadi mengambil kesempatan emas itu. Maka,
tujuh pemain kita: Tan Mo Heng, Achmad Nawir, Anwar Sutan, Tan Jong Djien, Isaac Pattiwael, Soedarmadji, dan Hans Taihuttu, ikut dalam tim yang berbalut Hindia-Belanda. Jadi, yang tampil di Paris saat itu adalah Hindia-Belanda bukan Indonesia.
Sementara untuk tim yunior dan Under 17, sejak 1979 sudah ikut berpartisipasi. Kita maju ke Jepang untuk menggantikan Irak dan Korut yang karena alasan politik mundur. Dan tim U17, kita tampil karena kita jadi tuan rumah setelah Peru dicoret FIFA. Awalnya, kita tuan rumah U20, karena persoalan Israel, hak kita dicabut FIFA.
Jalan Pintas