Menurut Hanung, situasi Horor di Indonesia terjadi pada 3 masa, yaitu saat peristiwa pembunuhan massal tahun 1965, tragedi penculikan aktivis 1998 dan situasi Covid 2019. Lewat 2 film horor terdahulunya: Lentera Merah dan Tragedi Sundel Bolong, Hanung bermain pada peristiwa tragedi 1965.
Di Film Trinil kali ini, Hanung memilih era 1970-80 an sebagai sebuah setting cerita. Karena di era tersebut, disamping menjadi latar orisinil drama radio Trinil, juga menghadirkan situasi politik Indonesia yang sedang memanas paska kejatuhan Rezim Soekarno.
Pemerintah Orde Baru, yang dikomandoi Jenderal Soeharto, mengawali masa otoriternya dengan membatasi Partai Politik menjadi 3 Partai : PPP, Golkar dan PDI. Akibatnya, kelompok masyarakat yang tidak memiliki kepentingan dengan ketiga partai tersebut dipaksa tunduk.
Bagi yang melawan, akan dibunuh secara misterius seperti mati terbakar, gantung diri bahkan ada yang menceburkan diri ke sungai. Situasi tersebut dipilih Hanung menjadi latar belakang Film Trinil : Balekno Gembungku untuk menandai kembalinya ke genre horor setelah 17 tahun silam, sekaligus kembalinya DAPUR FILM dalam memproduksi film secara mandiri setelah Film Hijab, 2015, yang sempat menuai kontroversi.
Kali ini Hanung dan Dapur Film menggandeng Seven Sky dan K-Studio, perusahaan dari Malaysia, untuk join venture dalam hal pendanaan.
Film ini dibintangi Carmela van der Kruk, Rangga Nattra, Fattah Amin, Shalom Razade, serta Wulan Guritno. Juga aktor-aktor senior di seni peran seperti : Willem Bever, Elly Luthan, Goetheng Ikhu Ahkin, Almarhum Suyik dan Bambang Paningron.
Ini kali pertama Wulan Guritno dan putrinya, Shalom Razade, membintangi film yang sama.