Bayangkan betapa mulusnya trip pertama ke Amerika "dikawal" doktor lulusan perguruan tinggi negeri Paman Sam itu. Pelbagai acara kami "create" bersama perusahaan public relations di sana yang sengaja dikontrak untuk membuat otoritas film di Hollywood memberi perhatian lebih pada film " Bibir Mer". Dan, Prof Salim menjadi ujung tombaknya bersama Pak Rosihan Anwar. Saya dan wartawan muda ( waktu itu) Dimas Supriyanto yang saya ajak, mengamati sambil belajar cara berdiplomasi dua sosok begawan pers dan film itu.
Prof Salim bukanlah tokoh yang melulu serius. Sosoknya humoris dan terkadang jahil juga. Saya masih ingat, dalam perjalanan ke Manila, Philipina, juga dalam rangka kegiatan film internasional. Suatu saat saya diajak untuk pergi menyaksikan dia mau "bertengkar" dengan receptionist hotel tempat kami menginap. " Kalau mau cepat belajar bahasa Inggris sering bertengkar dengan orang asing," kata dia. "Ma'nyaik" istilah dia jika menghadapi orang aneh atau nggak jujur yang menjadi lawan tengkarnya.
Kisah selanjutnya, saya dan Salim sama-sama duduk sebagai Panitia Tetap Festival Film Indonesia. Saya Ketua bidang Humas, sedangkan Salim sebagai Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri. Praktis di masa itu kami selalu bersama, melakukan perjalanan film di dalam maupun di luar negeri.
Jabatan Panitia Tetap FFI mempertemukannya kembali secara struktural kepada hobinya dan membawanya melanglang ke mancanegara mengenalkan film Indonesia.
Kantor kami di Gedung Dewan Film Nasional, Menteng Raya. Jaraknya hanya sepelemparan batu dengan Taman Ismail Marzuki dan kantor Departemen Penerangan yang memberi penugasan mengurus festival film. Di gedung itulah selama sekitar 10 tahun -- sesuai masa jabatan kami-- boleh dibilang, hampir tiada hari tanpa diskusi. Hampir tidak ada tokoh film, seniman, dan budayawan sohor di Indonesia yang tak pernah mampir di gedung itu.
Prof Salim sangat mensupport kiprah saya di dunia pers dan film. Ketika saya menikahkan putera pertama tahun 2004, Salim menjadi wakil kedua keluarga mempelai pada acara resepsi.
Salim mengaku sangat bangga ketika saya membuat serangkaian laporan jurnalistik membongkar penjiplakan film Indonesia dan ada berhasil menggagalkan film itu untuk menjadi pemenang FFI. Dia juga mensupport untuk berperkara ketika saya memproduksi film yang ternyata penulis cerita / skenario serta sutradaranya menjiplak film Hollywood. Salim tahu persis duduk masalahnya karena pada waktu kami di Amerika, informasi tentang penjiplakan itu masuk. Kami beli video film tersebut dan menonton bersama. Terinspirasi kisah itu, Salim mengulas dalam tulisannya " Monumen Ilham Bintang" yang dimuat "Harian Media Indonesia" tahun 1993.