BP2MI Akan Proses Pemulangan Korban TPPO di Myanmar

BP2MI Akan Proses Pemulangan Korban TPPO di Myanmar
BP2MI Akan Proses Pemulangan Korban TPPO di Myanmar (Foto : antvklik-Suhendar)

Antv – Kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) kembali menjerat salah seorang warga Kabupaten Bandung Barat (KBB). Ia adalah Wildan Rohdiawan, 36 tahun, warga Kampung Bantar Gedang, RT 03 RW 09, Desa Mekarsari, Kecamatan Ngamprah.

Wildan hilang kontak dengan keluarga selama setahun pasca pamit terakhir untuk kerja di Thailand. Belakangan ia justru berada di Myanmar dipaksa kerja menjadi penipu online.

Pihak keluarga telah meminta bantuan ke berbagai pihak untuk segera memulangkan korban. Pasalnya, selain dipaksa kerja jadi penipu, korban kerap mendapat perlakuan kasar dari majikan seperti kerja 20 jam dan penyiksaan kalau gak patuh.

Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani mengatakan pihaknya pastikan akan proses pemulanganya.

“Kita pastikan akan proses, membawa yang bersangkutan bisa kembali ke tanah air, dan kasus ini memang jelas ilegal, karena kita sebelumya tidak memiliki MoU dengan negara tersebut,” kata Benny, usai menyelenggarakan sosialisasi penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia, di Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung, Selasa (6/2/2024).

Menurut Benny berdasarkan informasi yang didapatnya, bahwa yang bersangkutan di sana dipekerjakan untuk melakukan perjudian, dan scammer (penipu online) dan berangkat secara ilegal.

“Artinya kalau berangakatnya legal tidak mungkin mengirimkan anak bangsa untuk bekerja yang mengarah pada kejahatan,” ucapnya.

Ia pun berpesan kepada calon pekerja yang akan bekerja ke luar negeri harus hati-hati, dengan mencari informasi yang benar dan berangkat dengan Legal, jangan karena di iming-imingi gaji tinggi dan berangkat dengan cepat, karena resikonya akan sangat buruk.

“Itu akan jadi masalah, mereka akan tanggung resikonya. Karena kalau berangkat tidak resmi negara akan kesulitan mengidentifikasi karena tidak ada data, jadi ketahuannya oleh kita jika anak bangsa itu bermasalah dan kemudian melapor, sedangkan kalau berangkatnya resmi kan gampang tinggal datanya dibuka, sudah pasti perlindungan negara dijamin, termasuk advokasinya,” ucapnya.

Diberitakan sebelumnya bahwa para pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) memeras uang ratusan juta rupiah kepada orang tua korban. Bahkan, Mereka juga mengancam kalau tidak segera dikirim uang tersebut, korban akan disiksa.

“Pasti resikonya seperti itu, kan ada pihak yang memberangkatkan, jika dia tiba-tiba pengen kembali ke tanah air, pihak yang memberangkatkan merasa sudah ke luar uang untuk pembiayaan, pasti yang akan diintimidasi adalah orang tuanya agar uang tersebut bisa diganti,” jelasnya.

Lebih lanjut Benny menjelaskan, "itulah siklus dari kejahatan perdagangan orang, yang negara tidak boleh kalah, negara harus hadir, dan hukum harus kuat tidak boleh lemah dan lembek dihadapan para sindikat dan mafia ini, masa negara yang besar yang punya polisi dan tentara begitu banyak, yang punya kekuasaan hukumnya besar, masa aparat hukum kita bisa kalah, itu bullshit."

Dirinya berharap, pada saat proses hukum kepada mafia dan sindikat TPPO, para penegak hukum harus mampu memenjarakan siapapun yang terlibat.

“Jangan sampai abai dan lengah, negara hadir tidak hanya memfasilitasi, tapi harus memperkuat proteksi, kerjasama dan kolaborasi dengan kementerian, lembaga terkait dan khusunya dengan Polri,” tegasnya

Kasus dugaan TPPO ini bermula saat Wildan dijanjikan akan bekerja di Korea dan mengikuti pelatihan bahasa di LPK KLCI, Sukabumi.

Namun setelah lulus mengikuti pelatihan ternyata tidak ada pemberangkatan tahun karena pandemi COVID-19. Korban akhirnya menjadi guru honorer di KBB.

Setelah itu tahun 2021 pihak sekolah (LPK KLCI) lagi menawarkan lagi untuk bekerja di Korea. Tapi diminta uang Rp20 juta, tapi gak kunjung berangkat.

Akhirnya tahun 2022 korban baru mendapat kabar bisa segera bekerja di luar negeri namun bukan di Korea Selatan seperti yang dijanjikan. Namun Wildan tetap berangkat karena perusahaan di Thailand itu disebut masih memiliki irisan dengan perusahaan di Korea Selatan.

Setelah berbulan-bulan tidak ada kabar, korban akhirnya memberikan kabar yang membuat keluarga kaget karena Wildan minta dipulangkan namun dengan syarat harus menebusnya uang sebesar Rp150 juta.