Antv – Saat ini sebagian besar produksi energi listrik di dunia, masih menggunakan batu bara dan sumber daya alam yang merupakan karbon menjadi bahan energi utama.
Fenomena ini dianggap menjadi penyebab utama terjadinya pemanasan global yang dirasakan akhir-akhir ini.
Penggunaan energi baru terbarukan diangap menjadi solusi dalam mencegah efek terburuk dari kenaikan suhu.
Pemerintah sendiri optimistis target pencapaian bauran energi nasional dari Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025, dapat tercapai. Namun hingga tahun 2023 ini hanya baru mencapai 0.5%.
Akademisi Fisif Universitas Jenderal Ahmad Yani (UNJANI) Dr. Wawan Gunawan mengatakan, target pemerintah untuk pencapaian Energi Baru Terbarukan di tahun 2025 sebesar 23% tidak masuk akal.
“Dari 2007 sejak lahirnya UU No 30 tentang Energi hingga 2023 sekarang kita hanya baru mencapai 0,5 persen dari target 23 persen pada tahun 2025 mendatang. Tentunya hal ini menjadi sangat imposible atau tidak masuk di akal,” jelas Wawan, Rabu (16/8/2023).
Hal itu diungkapkan Wawan saat sebagai pemateri dalam Kuliah Umum bertajuk “Paradoks Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia Terhadap Semangat Green Energy” yang digelar Kementerian Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) Unjani di Aula Lt 4 Gedung Psikologi Unjani.
Menurut Kang Wagoen panggilan Wawan Gunawan, kebijakan energi nasional adalah kebijakan pengelolaan energi yang berdasarkan prinsip berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan guna terciptanya kemandirian dan ketahanan energi nasional.
Maka, EBT selama 16 tahun dengan hitungan yang baru mencapai 0.5 persen merupakan suatu kebijakan atau regulasi yang perlu dievaluasi.
“Jadi titik evaluasinya adalah bukan pada alasan tidak mudah merealisasikan EBT karena menyangkut anggaran dan infrastruktur yang dibutuhkan tetapi di titik implementasi kebijakan yang harus digenjot. Sebab substansi kebijakan relatif secara normatif sudah benar sedangkan di tahap implementasi belum maksimal. Dan ini akan berakibat pada implikasi masa depan EBT yang akan terbengkalai,” tegasnya.
Bukan hanya sudut pandangan kebijakan pemerintah, Kang Wagoen juga menyoal posisi public atau masyarakat yang dinilai lemah akibat tergerus oleh kepentingan dan sikap ketergantungan.
“Publik atau masyarakat sangat lemah pada posisi di pertarungan kepentingan di dalam implementasi Undang-undang No 30 Tahun 2007 tentang Energi,” jelasnya.
Selain Kang Wagoen, hadir pemateri lain diantaranya akademisi Guru Gembul, serta Haerudin Inas dari Walhi Jabar.
Guru Gembul memandang bumi sekarang sedang punya masalah besar atau dipandang tengah demam tinggi.
Alasannya itu diperkuat gara-gara populasi manusia yang terlalu banyak. Dengan jumlah banyak, maka mereka membutuhkan energi yang sangat banyak pula.
“Dan sekarang ditambah masalah yang menjadi isu yaitu bahwa cadangan energi kita itu sudah 60% terpakai. Maka dampaknya adalah energi itu akan naik harganya. kita segera menemukan sumber daya energi yang terbarukan,” bebernya.
Kehandalan sumber daya manusia menjadi sangat penting dalam membangun dan mengembangkan baik energi ekonomi maupun EBT.
“Indonesia adalah negara yang manja, banyak janji-janji yang melenakan masyarakat. Berbeda dengan negara maju lainnya. Karenanya soal target nyumbang energi haruslah dan wajib memiliki sumber daya manusia yang handal yang handal dan pinter,” tandasnya.