INS INA Gaungkan Indonesia Sehat dan Bebas Nyeri Tahun 2030

INS INA Gaungkan Indonesia Sehat dan Bebas Nyeri Tahun 2030
INS INA Gaungkan Indonesia Sehat dan Bebas Nyeri Tahun 2030 (Foto : Istimewa)

Antv – International Neuromodulation Society (INS) Indonesia Chapter menggelar kampanye sehat bertema “Indonesia Bebas Nyeri” dan konferesi internasional the Jakarta Pain Intervention, Neuromodulation And Sonologist International Converence (JPNSC) Tahun 2023.

Acara yang baru pertama kali digelar di Indonesia ini berlangsung pada tanggal 11 – 14 Mei 2023 dan dihadiri oleh 1.000 orang peserta baik dokter spesialis, dokter Umum & Perawat dari berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri.  

Presiden INS INA & Chairman JPNSC dr. Alif N Rahman. mengatakan, permasalahan nyeri pada bagian tubuh di kebanyakan masyarakat indonesia  saat ini semakin banyak terjadi.

Hal ini diperlukan adanya kesadaran serta kemampuan penanganan untuk menjaga dan mengetahui sedari dini agar kondisi tersebut tidak semakin kompleks.

“Permasalahan kesehatan pasca pandemi Covid 19 yang semakin komplek membuat pemerintah terus berupaya untuk memastikan seluruh masyarakatnya selalu dalam kondisi yang prima dan mandiri. Untuk itulah perlu adanya kesadaran agar permasalahan kesehatan tubuh  utamanya nyeri di bagian tubuh bisa terdeteksi lebih awal,” ujar  dr. Alif.

Dia berharap, melalui kampanye sehat dengan tema Indonesia Bebas Nyeri serta dalam kegiatan The Jakarta Pain Intervention Neuromodulation and Sonologists International Conference 2023 ini diharapkan dapat menjadi ajang untuk mengenalkan dan memproteksi kesehatan masyarakat Indonesia bahkan Asia.

“Agar masyarakat kita lebih peduli dengan kesehatan mereka,  utamanya semua hal yang berhubungan  dengan syaraf,” ujarnya.

Dia menambahkan, sebagai langkah menuju Indonesia Bebas Nyeri di tahun 2030, pihaknya tengah membangun klinik nyeri dan Neuromodulasi  terbesar se-Asia Tenggara yang diberi nama Articulan Klinik.

“Sebagai bagian dari upaya menuju
Indonesia Bebas Nyeri 2030, klinik direncanakan akan diresmikan pada 27 Agustus 2023,” jelasnya.

Selain itu, pihaknya juga akan membangun rumah sakit terbaik untuk intervensi nyeri berskala nasional. Di rumah sakit ini nantinya akan bergabung semua spesialis yang melakukan tindakan intervensi dan minimalisasi.  

""Saya sebagai seorang spesialis, khususnya Ortopedi tentunya sangat bangga karena profesi ini bisa membuat saya banyak bermanfaat bagi banyak masyarakat. Bagi saya masalah nyeri adalah sesuatu hal yang harus diselesaikan agar pasien bisa hidup lebih nyaman dalam beraktivitas," imbuhnya.  

Saat ini pihaknya masih melakukan prosedural operasi-operasi orthopedi bagi pasien yang memang tidak bisa atau tidak mau diberikan intervensi. Sebaliknya, dia melakukan pain intervensi dan neuromodulasi untuk pasien yang memang mungkin belum bisa dilakukan tindakan operatif.  

"Sejatinya, penyakit nyeri ini harus kita sama sama hilangkan dari tubuh pasien. Dengan berbagai upaya tentunya. Semoga amanah saya sebagai orthopedi dan juga seorang pain practitioner dapat menbantu mewujudkan Indonesia  Bebas Nyeri," harap dr. Alif.  

Sementara, Prof. Jan Carlo Barolak Romana, Founder Neorumodulasi dunia mengaku sangat gembira dan antusias menyambut konvensi Neorumodulasi ini. Prof bedah Syaraf asal Amerika yang telah 40 tahun berpraktik dan sudah mengerjakan 10 ribu kasus ini mengungkapkan bahwa Neuromodulasi merupakan area yang berkembang sangat pesat di dunia kedokteran saat ini.

Menurutnya, pendiri Telsa, Elon Musk bahkan telah membuat prerusahaan Neuromodulasi baru bernama Neuro Link untuk melakukan stimulasi otak.

Ada juga perusahaan farmasi Galaxsus Midclain yang bekerjasama dengan Google membuat perusahaan Neuromodulasi bernama Galbani.

“Jadi bukan hanya di Indonesia, banyak sekali aktifitas dalam bidang Neuromodulasi di dunia saat ini,  dan saya sangat senang bisa berpartisipasi dalam kegiatan ini,” ujarnya.

Prof Borolak mengatakan, tujuan utama dari Neuromodulasi adalah untuk menolong orang, untuk membuat orang merasa lebih baik. Ini sangat berbeda dengan area lain di bidang kedokteran dimana dokter hanya memberikan obat untuk nyeri misalnya untuk lutut dimana kemudian orang akan kembali merasakan sakit.  

“Dalam Neuromodulasi  anda harus membuat orang merasa lebih sehat, ini yang membedakan degan treatment lainnya. Jika saya gagal membuat orang itu saya gagal,” ujarnya.

Ketua MKDKI PB IDI dr. Prasetyo Edi, memastikan bahwa Paint intervention sudah melampaui kaidah itu Kode Etik Kedokteran. Pada pasal 21 Kode Etik Kedokteran disebutkan seorang dokter wajib mengikuti perkembangan tekhnologi, acara ini buah dari perintah kode etik itu.

“Jadi pertama sudah ada Peraturan Konsil Kedokteran no.40 tahun 2018 tetang white paper lima koligium yang mengampu paint intervenstion itu, artinya sudah tidak perlu lagi ada ketakukan adanya overlaping dari 5 koligium itu,”jelasnya.

Kemudian Permenkes 2015, jadi tidak ada alasan dimasalah pembiayaan, dia berpedapat, BPJS tidak perlu lagi menanyakan hal ini.

“Artinya sudah clear bahwa kompetensi paint intervention itu adalah ranah 5 koligium, sehingga menurut saya demi kemaslahatan umat maka jadi BPJS sudah harus pasti bisa membayar layanan ini,” sambungnya.

Prof. Henny Suzana Mediani dari Persatuan Perawat Seluruh Indonesia (PPNI) mengungkapkan bahwa secara internasional problem nyeri merupakan masalah yang terus terjadi, baik pada pasien yang memang dirawat di RS dan juga pasien-pasien yang merasakan nyeri seperti nyeri akut, kronis, dan presisten.  

Menurutnya, tugas mengatasi nyeri bukan hanya dari dokter saja, tetapi juga tugas dari perawat sebagai mitra para dokter. Perawat mempunyai moral resposibility untuk mengatasi nyeri, hal ini karena perawat lebih banyak bersama dengan pasien di rumah sakit.

“Artinya perawat harus mengetahui berapa derajat intensitas nyeri yang dialami pasien, perawat juga harus tahu obat yang diberikan dokter seperit apa, efek sampingnya seperti apa,” jelasnya.

Permasalah nyeri, lanjutnya,  sangat mengganggu masyarakat dengan berbagai macam komplikasi dan efek samping dimana dapat mengganggu kualitas hidupnya, fisiknya, psikologinya, bahkan kehidupan sosial masyarakat.

Bahkan bagi pasien yang dirawat di rumah sakit, permasalahan nyeri itu akan makin menambah durasi atau lama waktu perawatan.

Disebutkan, perawat  memiliki otonomi sendiri dalam memberi intervensi nyeri pada pasien. Namun bukan farmakologi intervention melainkan non-farmakologi yang bisa meningkatkan efek dari obat.

“Terapi non-farmakologi yang bisa dilakukan perawat diantaranya, disistruksi, terapi musi, hipnotis, massage, akupuntur, hot dan cold terapi, termasuk bagaimana mengembangkan virtual reality,” jelasnya.

Dia menegaskan PPNI akan mendukung program “Indonesia Bebas Nyeri” yang diinisasi oleh Indonesia Neuromodulation Society.

“Program ini luar biasa, kedepan bagaimana kita bisa membebaskan nyeri, perawat akan sanat mendukung, kita bisa bekerjasama mengembangkan berbagai macam  pendekatan yang  bisa bermanfaat bagi masyarakat,” katanya.

Sementara itu, dr Hery Herman dari  Universitas Padjajaran mengatakan bahwa masalah intervensi  nyeri  adalah masalah yang strategis dalam tatanan kesehatan nasional. 

Menurutnya, hal ini untuk memastikan bahwa bangsa Indonesia tidak kalah bersaing dengan bangsa lain.

“Artinya harga diri bangsa itu sangat bergantung pada upaya kita meyakinkan bahwa bangsa kita terutama tenaga kerja kita bebas dari nyeri," tandasnya.