“Dibutuhkan cara baca untuk mendekatkan disparitas antara teks-teks suci dengan realitas peradaban yang cukup dinamis ini,” terang Tholabi.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyebutkan sejumlah langkah.
Pertama, menggali teks klasik peninggalan para pemikir Islam terdahulu untuk didialogkan dengan realitas saat ini untuk dicari titik temu di antara keduanya dan apa perbedaannya.
“Serta pertimbangan konsekuensi apabila pandangan fukaha tempo dulu diterapkan pada realitas saat ini,” tambah Tholabi.
Langkah kedua, menurut pengurus PBNU ini, diperlukan upaya mendialogkan antara realitas peradaban saat ini dengan teks-teks syariat secara manhaji (metodologis), terutama dalam hal-hal yang tidak terdapat bandingan atau persamaannya di dalam aqwāl (pandangan) fukaha.
“Dengan memikirkan segala kemaslahatan dan beban risiko kehancuran bagi umat manusia, sebagai inisiatif yang dapat menghadirkan stabilitas dan keamanan umat manusia. Ini butuh upaya kolaboratif pelbagai disiplin ilmu untuk membaca realitas ini dengan komprehensif,” sebut Tholabi.
Menurut Tholabi, gagasan fikih peradaban yang digagas PBNU ini patut direspons positif oleh kalangan sarjana Islam, khususnya di lingkungan perguruan tinggi keagamaan Islam di Indonesia.