Antv – Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) menandatangani nota kesepahaman bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam rangka mendukung pelaksanaan Pemilu tahun 2024.
Selain MIPI, nota kesepahaman ini juga ditandatangani oleh Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) dan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN).
Kegiatan ini digelar secara hybrid dari Ruang Rapat KPU, Jakarta Pusat, Kamis (29/12/2022).
Isi dari nota kesepahaman tersebut yaitu KPU bersama MIPI, AIPI, dan APHTN-HAN siap mendukung dan mengawal agenda Pemilu tahun 2024 tiap lima tahun sebagaimana diamanatkan konstitusi.
Selanjutnya mendukung kerja-kerja KPU secara berintegritas dan bersama mengawal KPU dalam menjalankan tugas dan kewenangannya melalui dukungan akademik.
Hal ini dalam rangka menciptakan Pemilu tahun 2024 secara Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil.
Ketua KPU RI periode 2022-2027 Hasyim Asy'ari dalam sambutannya menyampaikan, urusan pertama yang ditangani oleh KPU adalah kepemiluan, sehingga bekal keilmuan menjadi sesuatu yang penting.
Dengan deklarasi dukungan dan penandatanganan nota kesepehaman bersama ini, diharapkan terjadi peningkatan kapasitas-kapasitas personel KPU dan menjadi daya dukung peningkatan kapasitas kelembagaan.
"Layanan KPU kepada para pihak itu semakin baik terutama karena kapasitas personel didukung oleh pengetahuan yang memadai," tandasnya.
Di sisi lain, Wakil Ketua II Pengurus Pusat MIPI Siti Zuhro mewakili Ketua Umum MIPI Bahtiar dalam diskusi panel yang digelar dalam acara tersebut mengatakan, literasi terkait Pemilu memerlukan sinergisitas bersama dan KPU tidak bisa bekerja sendiri.
KPU perlu memberikan literasi kepada pemilih (voters) sehingga tercipta smart voters. Dengan demikian, publik juga tidak mempertanyakan keberadaan KPU karena telah hadir hingga tingkat bawah.
“Tentu dari perspektif MIPI, saya ingin menyampaikan bahwa Pemilu ini untuk apa? Untuk siapa? Jadi dampaknya itu ujung-ujungnya apa sebetulnya? Dari perspektif MIPI tentunya kita ingin mengaitkan dengan pemerintahan,” katanya.
Siti Zuhro mempertanyakan apakah nanti Pemilu bisa berdampak positif terhadap terbentuknya pemerintahan yang efektif, yang mampu mampu mengeksekusi program-program untuk rakyat.
Bahkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat masih banyak terjadi Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap kepala daerah.
“Terjadi penyalahgunaan kekuasaan,” tuturnya.
Lanjutnya, sistem demokrasi melalui Pemilu langsung tersebut semestinya berpengaruh positif terhadap peningkatan kualitas kinerja dan akuntabilitas pemerintahan hasil Pemilu dan Pilkada. Namun realitasnya berbeda, pasca-Pemilu dan Pilkada menghasilkan pemerintahan yang banyak menghasilkan kritik.
“Ini tentunya diwarnai oleh buruknya tata kelola pemerintahan karena tiadanya kepemimpinan. Padahal Indonesia itu sangat penting, menunjukkan pemimpin dan kepemimpinannya. Lemahnya manajerial tentu diikuti oleh minimnya tanggung jawab politik para pejabat publik yang dihasilkan oleh Pemilu dan Pilkada,” ujarnya.
Dia menegaskan, perlu adanya perbaikan-perbaikan nyata agar sistem demokrasi dan pemerintahan yang dihasilkan Pemilu maupun Pilkada berkorelasi positif terhadap kualitas pemerintahan.
Perbaikan-perbaikan terhadap distorsi sangat diperlukan dan mendesak untuk mengurangi komplikasi politik ke depan.