Khusus untuk pemukiman warga di daerah lereng-lereng dan perbukitan, kata Dwikorita, maka opsi relokasi harus dipertimbangkan oleh pemerintah daerah dan masyarakat. Mengingat gempa di Cianjur merupakan gempa yang berulang setiap 20 tahunan dan kemungkinan dapat terjadi kembali.
Ia menambahkan, topografi di wilayah lereng dan perbukitan tersebut juga tidak stabil dengan kondisi tanah yang rapuh. Selain itu juga lunak dan sering jenuh air akibat curah hujan yang cukup tinggi.
Sementara itu, pakar tsunami Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Widjo Kongko mengatakan, harus ada mitigasi bencana dengan membangun bangunan tahan gempa penting. Khususnya dalam melakukan renovasi dan rehabilitasi setelah gempa di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Menurutnya, gempa bumi dengan magnitudo 5,6 pada siklus yang lebih pendek akan lebih sering terjadi. Dibanding dengan gempa bumi megathrust dengan magnitudo di atas 7-9 di zona subduksi.
"Aspek ketahanan gempa perlu diperhatikan dalam pembangunan infrastruktur dan bangunan lain untuk mengantisipasi. Serta meminimalisir dampak kerusakan akibat gempa di masa mendatang," kata Widjo.