Tak pelak pemandangan itu menjadi santapan olok- olok Netizen dan kritik media pers. Sindiran yang pernah dilontarkan Menkopolhukam Mahfud MD dua pekan lalu seakan terkonfirmasi. Anggota Komisi III DPR-RI dikritik Mahfud karena sekian lama bungkam tak berkomentar apa-apa merespons kasus Duren Tiga. Padahal, peristiwa itu terjadi di lingkungan pengawasannya. Alasan reses sulit diterima. Di era teknologi digital di mana pun anggota berada dapat dijangkau dengan mudah.
Begitu RDP para anggota terhormat itu memang tampak seperti bangun tidur. Isunya ketinggalan kereta. Semua bicara, namun bicaranya mengawang-ngawang, jauh dari ekspektasi publik. Banyak yang kedengaran baru belajar bicara, sebagian kesulitan menyusun pikiran. Makanya pengucapannya bertele-tele. Namun, dalam hal garang, berbanding sangat terbalik ketika menghadapi Mahfud, dua hari sebelumnya di tempat sama.
Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti pun menilai kejanggalan itu.
RDP dengan Kapolri sangat berbeda ‘tune’-nya dengan saat Komisi III DPR RI berhadapan dengan Mahfud MD. Sangat boleh jadi, sambung Bivitri, seperti dikutip banyak media pers, sebab 82 persen anggota DPR merupakan bagian dari koalisi pemerintah.
Sehingga tidak dapat dielakkan ‘rumor’ yang menyebutkan adanya simbiosis mutualisme atau relasi saling menguntungkan antara Komisi III DPR dan institusi-institusi penegak hukum.
“Kita yang harus punya wawasan di belakang kepala kita untuk membaca apa yang terjadi hari ini maupun kemarin," tambah Bivitri.
Komisi III memang seakan menutup mata dalam RDP kemarin. Ini bukan semata soal Sambo melainkan soal kultur kekuasaan yang amat mengerikan. Kasus Duren Tiga hanya dampak atau by product dari kultur kekuasaan itu. Sudah mengakar lama.