Tarif Listrik dari Panas Bumi Lebih Mahal? Ternyata Faktor Ini Bisa Bikin Murah

pge
pge (Foto : )
Meski potensinya sangat besar, energi listrik dari geothermal atau panas bumi belum dimanfaatkan optimal. Salah satu penyebabnya adalah ongkos produksinya yang mahal. Benarkah demikian?
Indonesia memiliki potensi energi geothermal yang besar sekali. Bahkan dengan potensi mencapai 23 gigawatt, Indonesia berada di urutan kedua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat. Namun pemanfaatan energi listrik dari geothermal di negeri ini masih belum optimal, yaitu baru 2.175 megawatt atau kurang dari 10 persen dari potensi yang ada. Padahal pemerintah sudah berkomitmen untuk menekan emisi hingga menuju emisi nol pada 2060. Bahkan targetnya pada 2030, geothermal harus menyumbang 7.200 megawatt. Lambatnya pengembangan energi geothermal lantaran ongkos produksinya  yang mahal. Sebagai gambaran, tarif listrik yang dihasilkan dari energi terbarukan ini di angka 12-13 sen dollar per KWH. Bandingkan dengan energi fosil yang berada di bawah 10 dollar per KWH. Padahal menurut Manager Government Public Relations Pertamina Geothermal Energy, Sentot Yulianugroho, energi geothermal sangat efisien dibanding sumber energi lain. "Panas bumi tersedia kapan saja, tidak tergantung cuaca dan gempa. Pada saat blackout (listrik) 2019, pembangkit listrik tenaga panas bumi yang pertama masuk transmisi Jawa Bali," katanya dalam pelatihan media yang digelar Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas), Minggu (26/9/2021). [caption id="attachment_496015" align="alignnone" width="900"]
Grafik: PGE[/caption]

Biaya jadi Kendala

Dikatakan, energi geothermal juga terjamin pasokannya dengan emisi yang hampir tidak ada. Namun Sentot mengakui, masalah biaya produksi jadi masalah tersendiri dalam pengembangan energi geothermal untuk pembangkit tenaga listrik. Meski mahal itu jadi relatif. Ini karena unsur eksternal belum dihitung. "Contoh batubara, harganya sekarang baru mencerminkan 60 persen. Padahal belum dihitung dampaknya terhadap lingkungan. Kalau dihitung, bisa di atas panas bumi," paparnya. Ia juga membandingkan dengan pembangkit listrik tenaga surya yang hanya beroperasi 8 jam saja. Sisa waktu untuk memasok kebutuhan listrik harus didukung oleh pembangkit tenaga lain, Sedangkan luas area yang dibutuhkan pembangkit listrik tenaga surya juga sangat besar. Sentot memberi gambaran, untuk setiap 1 megawatt pembangkit listrik tenaga surya dibutuhkan lahan hingga setengah lapangan bola. Belum lagi teknologi baterai yang diperlukan untuk menyimpan energi surya. Oleh karena itu pemerintah terus berupaya mengembangkan energi panas bumi seperti menetapkan Flores sebagai geothermal island, pemberian insentif, government drilling dan geothermal fund. Sentot mencontohkan Islandia yang sukses hampir 100 persen gunakan geothermal dan hydropower sebagai sumber energi. Padahal pada dekade 1970an negara itu masih gunakan energi fosil. Di negara itu pemanfaatan geothermal juga tidak hanya untuk pembangkit listrik saja tapi juga untuk hal lain. Melainkan juga untuk pemanas di perumahan dan jalan, serta untuk wisata seperti spa. Hal lain yang membuat geothermal dapat menjadi lebih murah adalah kapasitas produksinya yang dapat terus meningkat dari tahun ke tahun. Ini berbeda dengan energi fosil yang terus menurun. Sedangkan Anggota Dewan National Centre for Sustainability Reporting (NCSR) Win Sukardi mengakui, masih banyak komponen dalam PLTP yang masih impor. Oleh karena itu untuk menekan tarif listrik dari PLTP, industri komponen dalam negeri harus dapat bersaing baik dari sisi kualitas maupun harga.