Foto: Akbar Dedy Pratama via travelingyuk.com[/caption]Namun tetap kedua kucing diupacarai di balai desa, kemudian diarak menuju Coban Kromo untuk dimandikan.Sepanjang jalan, kedua kucing digendong layaknya bayi oleh laki-laki dan perempuan menggunakan kain jarit.[caption id="attachment_396124" align="alignnone" width="900"]
Foto: Akbar Dedy Pratama via travelingyuk.com[/caption]Sekali lagi, itu jaman dahulu. Kini sudah berubah. Sudah semakin kekinian ritualnya. Bahkan menjadi agenda wisata yang ramai dikunjungi. Kalau dulu para sesepuh desa yang menggendong kucing, kini Mas ganteng dan Mbak cantik.[caption id="attachment_396131" align="alignnone" width="900"]
Foto: Akbar Dedy Pratama via travelingyuk.com[/caption]Setelah ritual memandikan kucing usai, dilanjutkan dengan doa bersama. Ritual diakhiri dengan Tiban. Orang beradu tanding melecut tubuh lawannya menggunakan cemeti sodo aren (lidi dari daun pohon Aren). Darah yang keluar dari tubuh petarung dipercaya menjadi lambing turunnya hujan.Mula buka tradisi ini terkait mitos Eyang Sangkrah. Eyang Sangkrah adalah seorang janda yang masih mempunyai garis keturunan dengan Mbah Brahim (Eyang Ibrahim), pendiri Desa Pelem.Dahulu kala, kemarau panjang mendera Desa Pelem. Eyang Sangkrah mendapatkan wahyu untuk mandi di sumber air Coban Kromo. Eyang Sangkrah kemudian memenuhi wahyunya. Datang ke Coban Kromo bersama kucing jantan Condromowo (tiga warna) kesayangannya.Kucing yang biasanya takut air malah melompat dan mandi bersama Eyang Sangkrah. Mendung dengan cepat menggantung di langit hingga tetesan gerimis hujan menjadi lebat mengguyur Desa Pelem.Hari berganti bulan hingga menahun berlalu, ritual ini rutin dilaksanakan ketika kemarau mendera Desa Pelem sampai kini. Baca juga: INSPIRASI - Ritual Kucing
Baca Juga :