Dzuriyatun Toyibah atau biasa disapa Ibah mengumpulkan bahan penelitian tersebut untuk menunjukan bahwa salah satu datanya adalah jumlah guru besar sampai 2014 dari 56 guru besar yang ada di kampusnya, hanya ada 4 orang perempuan.
“Ada penambahan signifikan pada 2023 yakni kenaikan enam kali lipat sejak 2012 tetapi jumlahnya masih di bawah 19%,” terang Ibah yang juga Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Jakarta.
Lebih lanjut, dalam pidato pengukuhannya ia menyebutkan bahwa data di negara lain menunjukan pada 2016, di US representasi professor perempuan yang sudah tenure mencapai 26%. Jumlah tersebut naik dari 23% di 2014-2015.
Prosentase perempuan dalam posisi yang sama mencapai 31% di Eropa. Di Australia prosentase Professors perempuan mencapai 19.8% and Associate Professors perempuan menacapai 28 % di 2011.
“Di Indonesia meski jumlah perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi jumlahnya naik signifikan tetapi belum dibarengi dengan jumlah partisipasi dalam jabatan publik,” terang Ibah.
Menurut Ibah salah satunya dikarenakan di Indonesia akhir-akhir ini mengalami masalah yang cukup serius nampak dari masifnya pemberitaan media tentang perjokian, buruh dosen, kultur toksik dan feodalistik serta birokratisasi konservatif, juga masalah peneliti mental pedagang kaki lima sebagai cerminan insularitas di dunia akademik.
“Praktek ini sangat maskulin yang sulit dilakukan oleh perempuan,” ujarnya.