Kehadiran tambang emas Martabe, perkebunan kelapa sawit dan PLTA Batang Toru dikhawatirkan akan dapat membuat punah orang utan Tapanuli yang hanya berjumlah 700 individu.
Walaupun menurut Dr. Wanda Kuswanda, satu-satunya Doktor dengan disertasi mengenai orang utan Tapanuli yang berasal dari Universitas Sumatera Utara (USU) mengatakan.
”Populasi orang utan Tapanuli sebagai spesies yang terancam punah masih dapat meningkat, salah satunya adalah dengan mitigasi yang tepat dalam menangani konflik antara manusia dan orang utan”.
Namun sayangnya Dr. Wanda tidak dilibatkan pada diskusi publik mengenai Orang Utan Tapanuli maupun pada saat kolaborasi penulisan investigasi oleh beberapa jurnalis dari media ternama pada tahun lalu oleh pihak penyelenggara, alih-alih Onrizal PhD dari lembaga akademi yang sama dengan Dr. Wanda namun memiliki keahlian di bidang tanaman bakau, justru dilibatkan.
Padahal menyangkut pembangunan PLTA Batang Toru yang merupakan bagian dari Komitmen Pembangunan Nasional (NDC) pada Paris Agreement tentang mitigasi Perubahan Iklim, untuk mengurangi 29% emisi gas rumah kaca pada tahun 2030.
Sepertinya banyak pihak yang “terluka” dalam usaha pelestarian orang utan Tapanuli dan ekosistem Batang Toru, termasuk pihak jurnalis dan pemegang kebijakan yang merasa hampir terampas kebebasan berpendapatnya dengan terjadinya insiden gangguan oleh seorang oknum pada saat diskusi publik, walaupun acara masih bisa diselamatkan dan berjalan sampai akhir serta mencapai tujuan acara.
Lalu yang menjanggal siapakah yang paling memiliki keuntungan dengan adanya insiden tersebut? Mengapa terjadi gangguan di awal acara diskusi namun acara tetap bisa berjalan lancar hingga akhir acara sesudahnya? Apa motif sang pengganggu? Sekedar motif panjat sosial ataukah sebuah rekayasa isu yang berusaha digulirkan? Entahlah, yang jelas, kegaduhan dan viralnya insiden tersebut di media sosial, tidak berpengaruh pada jalannya diskusi.