Monkeypox atau cacar monyet menjadi penyakit lainnya yang mengkhawatirkan masyarakat saat ini. Sudah adakah obat untuk penyakit satu ini? Virus cacar adalah penyakit yang dapat menginfeksi manusia maupun hewan. Oleh karena itu, sangat penting wawasan sekaligus tata cara untuk mencegah penyebaran penyakit ini. Cacar air sendiri merupakan penyakit yang tidak asing lagi di Indonesia.
Hampir semua orang pernah mengalami penyakit ini, setidaknya satu kali dalam hidupnya. Namun, beberapa bulan ini muncul varian cacar lainnya yang mengkhawatirkan masyarakat sedunia. Apalagi, kita belum sepenuhnya pulih dari wabah COVID-19. Varian cacar itu disebut dengan monkeypox atau cacar monyet. Dilansir dari Poison, penyakit ini pertama kali ditemukan pada tahun 1958. Walaupun disebut cacar monyet, penyakit ini juga dapat terjangkit oleh tikus, tupai, dan hewan pengerat lainnya.
Melalui mereka, penyakit ini dapat ditularkan kepada manusia. Cacar monyet pertama kali terjangkit manusia pada tahun 1970. Kasus pertama ini bahkan terjadi pada seorang bayi 9 bulan, yang awalnya dikira mengidap cacar air biasa. Saat itu, cacar monyet menjadi endemik di Afrika Tengah dan Afrika Barat. Kemudian, wabah ini merebak di Amerika Serikat selama bertahun-tahun pada 2003.
Dilansir dari Poison, meskipun tidak ada obat untuk cacar monyet, vaksinasi cacar sebelumnya dapat memberikan perlindungan terhadap infeksi cacar monyet. Sayangnya, efektivitas vaksinasi cacar menurun dari waktu ke waktu. Tidak ada kejelasan apakah orang yang pernah divaksinasi masih kebal terhadap cacar.
Namun, disebutkan bahwa vaksin cacar terbaru (Jynneos®) yang telah disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat pada tahun 2019 juga dapat digunakan untuk pencegahan infeksi cacar monyet pada orang dewasa berusia 18 tahun ke atas.
Namun, beberapa jenis obat telah dipelajari sebagai pengobatan potensial untuk cacar monyet, seperti obat antivirus, cidofovir, Vaccinia immune globulin, sampai Tecovirimat. Cidofovir merupakan obat antivirus yang digunakan untuk pengobatan infeksi mata yang parah pada pasien dengan sindrom defisiensi imun (AIDS).
Obat ini efektif dalam mengobati primata yang terkena cacar air, meskipun penelitian pada manusia masih terbatas. Terlebih lagi, cidofovir memiliki efek signifikan, seperti kerusakan ginjal fatal yang dapat terjadi hanya dengan pemberian satu atau dua dosis obat. Di sisi lain, Vaccinia immune globulin (VIGIV) adalah formulasi intravena plasma manusia yang mengandung antibodi terhadap orthopoxvirus lain yang disebut virus vaccinia.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) menyatakan bahwa VIGIV dapat digunakan untuk mengobati wabah virus cacar monyet. Namun, sejauh ini tidak ada bukti bahwa itu memberikan pengobatan yang memadai untuk infeksi cacar monyet. Kemudian, ada Tecovirimat (TPOXX®), yaitu obat antivirus baru yang disetujui oleh FDA pada tahun 2018 sebagai pengobatan untuk penyakit cacar manusia.
Tecovirimat menargetkan dan menghambat protein spesifik dalam orthopoxvirus yang membantu transmisi sel ke sel dan penyebaran virus. Tecovirimat tersedia dalam formulasi kapsul untuk pemberian oral dan dapat digunakan pada orang dewasa dan anak-anak dengan berat setidaknya 13 kilogram.
Tecovirimat memiliki profil keamanan yang baik, dengan efek samping umum seperti sakit kepala, mual, sakit perut, dan muntah. CDC saat ini memasukkan tecovirimat sebagai pilihan pengobatan untuk wabah orthopoxviruses, termasuk cacar air. Bagaimana tanggapanmu, ANTVLovers? Apakah Tecovirimat dapat menjadi obat yang tepat bagi penyakit cacar monyet?