Antv - Penggunaan gas dan tenaga nuklir dianggap sebagai opsi terbaik yang dapat digunakan selama masa transisi energi di Indonesia. Namun penggunaan kedua energi itu masih menemui hambatan.
Indonesia harus lebih cermat selama masa transisi energi dan tidak bisa begitu saja lompat ke energi baru terbarukan (EBT).
Hal tersebut disampaikan Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal dalam Energy Outlook 2022 lewat pelatihan media yang digelar Aspermigas, Minggu (24/7/2022).
Menurutnya, jika Indonesia terlalu cepat transisi energi, tarif listrik bisa melonjak 2-3 kali lipat dari angka sekarang. Moshe juga menyoroti dampak pemanasan global dan perang di Ukraina yang memicu kenaikan harga bahan bakar fosil.
Meski demikian, harga BBM di Indonesia masih cukup rendah karena pemerintah dan Pertamina dapat menekan biaya energi.
Di tengah melambungnya harga bahan bakar fosil, Indonesia terus melakukan transisi energi guna menuju penggunaan secara penuh EBT.
Selama masa transisi, menurut Moshe, sumber energi yang paling tepat digunakan Indonesia adalah gas dan tenaga nuklir.
"Untuk Indonesia yang paling tepat adalah gas alam dan nuklir dan inilah yang juga dilakukan Eropa, mereka menggunakan gas dan nuklir untuk transisi (energi)," katanya.
Namun khusus untuk gas alam tantangannya adalah bagaimana meningkatkan konsumsi dalam negeri lantaran biaya produksi yang masih mahal. Sementara tenaga nuklir dianggap sebagai energi yang paling dapat diandalkan di dunia saat ini dan juga paling berkontribusi menurunkan emisi C02.
"Dari sisi kapasitas menunjukkan betapa reliable-nya energi nuklir. Kapasitas faktor yang digunakan bisa 93,5 persen, hampir tidak ada shutdown. Beda dengan gas atau batubara yang ada maintenance," kata Moshe.
Bahkan dari sisi ruang yang dibutuhkan juga paling kecil dengan daya yang dihasilkan paling besar, bahkan bila dibandingkan dengan EBT.
Perbandingan penggunaan energi nuklir dengan energi lain[/caption] Sebagai gambaran, untuk 1 meter persegi luas area pembangkit nuklir dapat menghasilkan 10 ribu watt (lihat grafik).
Bandingkan dengan pembangkit listrik tenaga surya yang menghasilkan 5 watt/m2, tenaga angin 2 watt/m2 atau geothermal yang hanya dapat menghasilkan 1 watt/m2.
Menurut Moshe, sejauh ini Amerika Serikat masih terdepan dalam penggunaan energi nuklir, namun China mulai menyusul. Dalam proyeksinya, Moshe juga menilai potensi terbesar EBT Indonesia di masa depan adalah geothermal dan tenaga surya.
Pemerintah Belum Putuskan
Hingga kini pemerintah belum memutuskan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) untuk menggantikan pembangkit tenaga fosil yang menghasilkan emisi besar.
Namun pembangunan PLTN tetap masuk dalam peta jalan transisi energi menuju karbon netral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Dalam peta jalan itu, sepanjang 2041-2060 akan dibangun sejumlah PLTN dengan total kapasitas 30 gigawatt (GW).
Sebelumnya, Pengembang Teknologi Nuklir Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Suparman menjelaskan, pihaknya sudah melakukan studi kelayakan lokasi PLTN di sejumlah wilayah Indonesia.
Menurutnya, membangun PLTN membutuhkan banyak persiapan dan waktu lama, serta yang terpenting adalah keputusan pemerintah untuk memberi lampu hijau dimulainya pembangunan PLTN.
"Ini perlu waktu yang tidak cepat membangun PLTN. Kalau membangun PLTN perlu banyak persiapan. Ini kan kita perlu survei, mau ditaruh di mana. Kita juga harus evaluasi tapak, tidak ada patahan gempa yang tinggi, tsunami, banjir dan lain-lain," katanya.
Saat ditanya, tentang potensi terjadinya kecelakaan akibat bencana alam, seperti yang terjadi di Fukushima, Jepang, Suparman menegaskan, kemungkinan itu tetap ada dan dapat diantisipasi dengan persiapan matang, seperti rencana kedaruratan nuklir.
Suparman menjelaskan, sejumlah negara sudah menawarkan kerja sama atau investasi pembangunan PLTN di Indonesia, seperti dari Rusia, Prancis, China, Amerika Serikat dan Jepang.
"Soal investasi, beda teknologi beda harganya. Nanti di-bidding dan siapa yang murah dan tidak melupakan aspek keselamatan," katanya lagi.
Selain itu Suparman menekankan perlunya dilakukan sosialisasi terus menerus kepada masyarakat akan amannya PLTN.
Masih Ada Oposisi
Ketua Dewan Pers Azyumardi juga menyoroti masih adanya penolakan sebagian kalangan tentang pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Padahal energi nuklir jauh lebih bersih dan berkelanjutan.
"Sebenarnya pemerintah ingin mengembangkan energi nuklir yang lebih bersih, renewable dan berkelanjutan. Cuma kemudian di kalangan masyarakat masih ada oposisi," katanya.
"Saya kira jurnalis memiliki peran memberi informasi yang baik tentang PLTN. Jangan hanya dilihat (tragedi) Chernobyl di Ukraina itu," lanjutnya.
Oleh karena itu, Azyumardi mengatakan, Indonesia membutuhkan jurnalis spesialis yang dapat memberi pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya mengembangkan energi yang berkelanjutan.
Ia juga menekankan pentingnya peran jurnalis dalam menumbuhkan literasi yang baik di tengah masyarakat.