"Untuk Indonesia yang paling tepat adalah gas alam dan nuklir dan inilah yang juga dilakukan Eropa, mereka menggunakan gas dan nuklir untuk transisi (energi)," katanya.
Namun khusus untuk gas alam tantangannya adalah bagaimana meningkatkan konsumsi dalam negeri lantaran biaya produksi yang masih mahal. Sementara tenaga nuklir dianggap sebagai energi yang paling dapat diandalkan di dunia saat ini dan juga paling berkontribusi menurunkan emisi C02.
"Dari sisi kapasitas menunjukkan betapa reliable-nya energi nuklir. Kapasitas faktor yang digunakan bisa 93,5 persen, hampir tidak ada shutdown. Beda dengan gas atau batubara yang ada maintenance," kata Moshe.
Bahkan dari sisi ruang yang dibutuhkan juga paling kecil dengan daya yang dihasilkan paling besar, bahkan bila dibandingkan dengan EBT.
Perbandingan penggunaan energi nuklir dengan energi lain[/caption] Sebagai gambaran, untuk 1 meter persegi luas area pembangkit nuklir dapat menghasilkan 10 ribu watt (lihat grafik).
Bandingkan dengan pembangkit listrik tenaga surya yang menghasilkan 5 watt/m2, tenaga angin 2 watt/m2 atau geothermal yang hanya dapat menghasilkan 1 watt/m2.
Menurut Moshe, sejauh ini Amerika Serikat masih terdepan dalam penggunaan energi nuklir, namun China mulai menyusul. Dalam proyeksinya, Moshe juga menilai potensi terbesar EBT Indonesia di masa depan adalah geothermal dan tenaga surya.