Melonjaknya harga minyak dan gas (migas) global belakangan ini justru tidak membuat investor migas senang. Mereka malah khawatir dengan kondisi demikian. Penyebabnya?
Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal menyoroti lonjakan harga minyak dan gas (migas) terkait pemanasan global dan perang di Ukraina.
Menurutnya, ada anggapan bahwa dengan melonjaknya harga migas membuat para investor senang. Padahal kondisi demikian justru malah membuat investor cemas.
"(Ada yang menyebut) harga minyak tinggi bagus dong buat investasi. Tapi yang disukai investor adalah stabilitas. Kita lihat harganya fluktuatif," kata Moshe Rizal dalam pelatihan media yang digelar Aspermigas secara daring, Minggu (24/7/2022)
Menurutnya, fluktuasi harga minyak bisa dalam kisaran di atas 30 dollar per barel. Hal inilah yang membuat ketidakpastian dari sisi investasi. Hal yang sama juga berlaku pada harga gas.
"Investor akan berhati-hati spending-nya. Dari sisi gas sama malah lebih parah lagi. karena dampak perang Ukraina terhadap
supply demand tinggi sekali karena konsumsi Eropa akan gas sangat besar," katanya.
[caption id="attachment_546399" align="alignnone" width="1270"] Fluktuasi harga minyak dunia (Grafik: Aspermigas)[/caption]
Bahkan menurut Moshe, lebih dari 40 persen kebutuhan gas Eropa diimpor dari Rusia. Apalagi sebelum invasi ke Ukraina, Rusia tidak mau menaikkan produksi gas karena sudah ada kesepakatan dengan China.
Pada akhir Januari 2022 juga terjadi fluktuasi harga gas karena berakhirnya masa kontrak hingga terjadi kepanikan di pasar. Rentetan ketidakpastian harga migas inilah yang membuat para investor jadi khawatir.
[caption id="attachment_546401" align="alignnone" width="888"] Dampak harga gas di Eropa akibat perang Ukraina (Grafik: Aspermigas)[/caption]
Eropa Tak Sebersih yang Dikira
Moshe mengatakan, sama seperti Indonesia, Eropa masih dalam masa transisi energi. Namun negara-negara di Eropa saat ini begitu tergantung dengan impor migas, terutama dari Rusia. Sejauh ini Eropa terus mengurangi kilang-kilang minyaknya. Jadi pengolahan minyak mentah dilakukan di negara lain seperti India, China dan Rusia. Selain migas, konsumsi batubara untuk kebutuhan energi di Eropa ternyata terus meningkat Padahal batubara dikenal sebagai bahan bakar paling kotor di dunia. Ditambahkan Moshe, melonjaknya harga migas tentu berdampak pada naiknya tarif listrik di Eropa. "Jerman paling parah, 30 sen euro per kWh. Kalau di Indonesia ini kita membayar paling mahal Rp1.300 per kWh. Di sana lebih ke pasar bebas, di Indonesia harga listrik dikontrol pemerintah," katanya. "Kita melihat Eropa tidak sebersih yang kita kira. Itu pun harga listrik juga luar biasa (mahal)," katanya lagi.Baca Juga :