Lama menghilang dari kancah muka publik, Ryaas Rasyid secara mengejutkan tampil sebagai keynote speaker Seminar Nasional "Quo Vadis Etika Pemerintahan di Indonesia?".
Seminar yang diselenggarakan oleh Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) tersebut berlangsung di Hotel Arya Duta Jakarta, Sabtu (5/6/2021)Berbicara sebagai Ketua Dewan Penasehat Pengurus Pusat MIPI, Prof. Ryaas Rasyid, MA, PhD yang dikenal berbicara blak-blakan mengatakan bahwa Indonesia sudah lama dikelola tanpa etika pemerintahan."Pemerintah tidak sungguh-sungguh mencerdaskan kehidupan bangsa. Belum lagi cerita kesejahteraan sosial, masih jauh itu. Mencerdaskan harusnya tercermin dari perilaku pemimpin saat ini, bukannya malah membodohi, kerap mengeluarkan pernyataan tidak bertanggungjawab, kontroversial, bahkan melakukan kebohongan publik. Ini problem besar etika pemerintahan saat ini.” ujarnya."Praktik pengelolaan pemerintahan jauh dari nilai-nilai etika pemerintahan. Ini suatu situasi moral yang memprihatinkan. Karena orang mulai menganggap janji politik itu sesuatu yang bisa dilanggar karena toh cuma janji. Padahal pendiri bangsa ini berjuang membentuk negara bukan untuk memperbanyak koruptor. Kita melawan penjajah bukan sekadar politis namun juga perjuangan moral. Orang dulu mati-matian berjuang, berani mati di medan perang karena dorongan perjuangan suci. Pemimpin sekarang harusnya mengerti, jangan asal memimpin. Ada perjuangan moral dan suci. Itulah makanya, kita dirikan MIPI agar terus mengedukasi masyarakat memperkenalkan mana pemerintahan yang baik dan mana pula yang buruk,” tambah Prof Ryaas.Etika pemerintahan hendaknya memperhatikan kualitas kepemimpinan. Pemimpin harus memiliki integritas, berkompenten, dan juga punya komitmen."Jangan paginya bilang tempe, sorenya jadi tahu. Itu pemimpin yang tak punya komitmen. Tak bisa dipegang kata-katanya.” Ujar pakar pemerintahan ini disambut tepuk tangan peserta undangan.Lebih lanjut, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara RI periode 2000-2001 tersebut menegaskan bahwa etika pemerintahan harus berpihak pada masyarakat, bukan merugikan masyarakat.“Bila Anda membelanjakan uang negara, namun tidak mensejahterakan rakyat berarti ada pelanggaran etika pemerintahan di sana. Dari sekian banyak opsi kebijakan, pilih yang paling menguntungkan masyarakat. Itu kuncinya. Pemimpin itu memberikan legasi yang baik pada masyarakatnya. Jangan malah mewariskan kesengsaraan pada rakyat,” bebernya.[caption id="attachment_469264" align="aligncenter" width="900"] Ryaas Rasyid bersama Direktur Jenderal (Dirjen) Politik dan Pemerintahan Umum (Politik dan PUM) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bahtiar yang terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Umum Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), periode kepengurusan 2021-2026 (Foto Puspen Kemendagri)[/caption]Dalam seminar itu, hadir pula sejumlah narasumber seperti Ketua Dewan Pakar Pengurus Pusat MIPI yang juga merupakan Pakar Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Eko Prasojo, Mag. Rer. Publ, (hadir secara daring), Wakil Ketua II Pengurus Pusat MIPI yang juga Pakar Ilmu Politik LIPI, Prof R. Siti Zuhro, MA, Ph.d, dan Kepala Pusat Studi Konstitusi dan Perundang-Undangan Universitas Trisakti, dr. Trubus Rahardianyah, SH, MH, M.Si.Sejumlah nama juga hadir sebagai undangan yakni mantan Rektor IIP Prof. Dr. Hj Ngadisah, M.A, Staf Khusus Mendagri Bidang Pemerintahan Prof. Mukhlis Hamdi, MPA, PhD, Ketua STIA LAN Jakarta Prof. Dr. Nurliah Nurdin, MA, Dirjen Polpum Kementerian Dalam Negeri Dr. Bachtiar, M.Si, dan Sekjen KPU RI Drs. Bernad Dermawan Sutrisno, M.Si
Baca Juga :