BNPT: Kaum Milenial Jadi Sasaran Utama Radikalisasi

BNPT: Kaum Milenial Jadi Sasaran Utama Radikalisasi
BNPT: Kaum Milenial Jadi Sasaran Utama Radikalisasi (Foto : )
Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) menyatakan kaum milenial menjadi sasaran utama radikalisasi karena mereka sangat sensitif terhadap nilai keagamaan.
Penegasan itu disampaikan oleh Direktur Pencegahan BNPT Brigjen R. Ahmad Nurwakhid saat acara webinar nasional "Membangun Spirit Pemuda Maluku di Tengah Fenomena Radikalisme" di Ambon, Maluku, Sabtu (22/5/2021)."Kaum milenial menjadi sasaran utama radikalisasi karena generasi muda itu punya masa depan yang panjang," kata Brigjen Ahmad Nurwakhid.Ia menjelaskan, kaum milenial diklasifikasi menjadi tiga yaitu rentang umur 14-19 tahun, 20-40 tahun dan rentang umur 40 tahun sampai 55 tahun."Khusus untuk generasi milenial 20-40 tahun ini adalah generasi yang luar biasa dan potensial menjadi sasaran radikalisasi. Sebab, mereka sangat sensitif nilai keagamaannya, kemudian masih dalam fase pertumbuhan yang emosional sehingga terkadang dia labil.Wawasan pengetahuan dan penghayatan mereka terhadap nilai-nilai hidup masih dalam fase pertumbuhan menuju pematangan, sehingga mereka rentan untuk digiring dalam konteks memperjuangkan sistem pemerintahan yang berdasarkan agama atau khilafah atau Daulah Islamiyah. Radikalisme dan terorisme menjadi musuh negara karena ideologi yang dibawa bertentangan dengan perjanjian yang sudah menjadi konsensus bersama bangsa Indonesia yakni Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, serta NKRI.Kalau terus dibiarkan maka akan berkembang ke arah konflik sosial dan konflik bangsa, karena semua negeri-negeri konflik, terutama di dunia Islam, selalu didahului oleh fenomena maraknya radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan agama terutama Islam di Timur Tengah dan beberapa negara Asia Tengah, atau di Afrika."Wilayah ini selalu didahului maraknya terorisme dan radikalisme mengatas-namakan agama dalam konteks Islam," ucap Nurwakhid.Kemudian berkolaborasi dengan oposisi yang destruktif atau pun mengundang intervensi asing, sehingga terjadilah konflik seperti di Afganistan, Somalia, Libya, Sudan, Irak, atau Yaman. Hal ini perlu diwaspadai."Pengalaman konflik di Ambon misalnya merupakan bagian dari desain besar yang ingin menghancurkan NKRI dan mengadu-domba masyarakat dengan mengatasnamakan agama," tegas Nurwakhid, seperti dikutip dari Antara.
Untuk itu, Pancasila yang merupakan ideologi pemersatu bangsa, serta gotong royong, yang digali dari kearifan lokal budaya dan nilai-nilai agama harus terus dipupuk dan dikuatkan.Ia menambahkan Densus 88 atau pun BNPT meyakini tidak ada konflik agama, tetapi yang ada adalah konflik kepentingan yang memanipulasi dan mengatasnamakan agama.Pada kesempatan yang sama, mantan Komandan NII, Ken Setiawan menjelaskan, kalau radikalisme dan terorisme ini bisa menyasar semua lini masyarakat dan berkembang merajalela b‎ila dibiarkan, dianggap benar bila tidak ditindak aparat keamanan dan menjadi bom waktu.Menurut dia, ketertarikan terhadap ideologi tersebut karena kondisi di masyarakat, Pancasila dianggap tidak menarik, belajar dengan guru yang salah, dan adanya provokasi media sosial."Diimbau kepada masyarakat pelajari agama pada ahlinya, kenali modusnya, tolak seperti narkoba, kritis terhadap fenomena di sekitar kita," katanya.